Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jangan Takut, Jangan Ragu ......

Wapres Adam Malik, menghimbau para wartawan, agar pers berani mengungkapkan kritik & fakta yang selama ini setengah disembunyikan. Kata-kata beliau ditunjang oleh presiden & menteri Ali Moertopo. (md)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANCAN takut! Itu ucapan WakiI Presiden Adam Malik kepada wartawan tiga pekan yang lalu. Dalam suasana kehidupan pers di Indonesia seperti sekarang, pesan bekas wartawan Adam Malik itu rupanya dimaksudkan untuk memberanikan pers mengungkapkan kritik dan fakta yang selama ini setengah disembunyikan. "Takut apa, memangnya ada setan ? " tanya Adam Malik. Bagi banyak kalangan pers, ucapan Wakil Presiden ditanggapi sebagai lelucon segar saja. Tokoh karikatur Kompas yang pintar itu muncul esoknya menjawab Adam Malik. "Sungguh mati, pak Adam, saya tidak takut sama setan konvensionil .... tapi sama setan yang doyan ayam goreng." Banyak wartawan nampaknya skeptis terhadap anjuran "jangan takut" seperti itu. Beberapa pejabat penting, misalnya, sebelumnya juga pernah mengatakan pers bebas menulis, asal itu fakta. Namun dalam kenyataan para pemimpin redaksi kadang menerima telepon dari kalangan pemerintah, agar tidak memuat ini atau itu. Memang dering telepon sensor ini relatif jarang. Tak setiap bulan terjadi. Tapi toh bisa mengganggu -- karena kadang membingungkan dan sebenarnya tak perlu. Pangkopkamtib Sudomo kepada para pemimpin redaksi se-lndonesia yang hadir di Jakarta untuk "Penataran P4 (Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila") pekan lalu ternyata dengan terbuka mengecam cara-cara larangan lewat telepon itu. Ia sendiri lebih suka memanggil para wartawan, untuk diberi penjelasan serta alasannya bila suatu berita dianggap tak boleh dimuat. Sudomo, yang sehari-hari memang hampir tak pernah mengambil jarak dari wartawan, ingin memberi contoh. Rasa saling percaya antara penjaga keamanan dengan para wartawan agaknya diharapkan tumbuh, sehingga pers tidak cuma dengan rasa terpaksa saja mengikuti sensor -- yang sebenarnya ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Pers. Tapi dalam kenyataan saling percaya dan saling pengertian itu belum terjadi. Misalnya, pihak wartawan jarang diberi kesempatan untuk menjelaskan, kenapa suatu berita sebaiknya tak usah dilarang muncul. Para pejabat memang? apalagi di daerah, umumnya tak hendak dibantah. Mungkin karena kedua pihak belum biasa beradu argumentasi secara leluasa. Tapi mungkin karena para wartawan biasanya sudah menyadari posisinya yang lemah -- hingga lebih baik akur saja dengan suatu larangan atau "himbauan" dari atas. Padahal, keputusan seperti itu belum tentu sesuatu yang bijaksana. Apa boleh buat, 'kan SIT bisa dicabut? Dan ketakutan akan dicabutnya SIT memang umumnya membayangi hampir setiap penanggungjawab koran atau majalah. Sebab pencabutan SIT merupakan suatu ancaman yang berat, dan kurang adil bila sebuah penerbitan dimatikan, banyak orang tak bersalah yang bekerja di penerbitan itu ikut jadi korban. Mereka ini seperti sandera. Lagipula media yang ditutup itu tak dijamin untuk terlebih dulu dapat kesempatan membela diri atau naik banding. Bahkan seperti sejumlah koran yang ditutup tahun 1974, mereka tak bisa hidup lagi. Pemerintah sendiri tetap menganggap perlu keharusan sebuah penerbitan mempunyai SIT. Dulu memang adanya keharusan ber-SlT, seperti tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pers, merupakan keharusan masa transisi -- yang seharusnya sudah berakhir setelah tahun 1971, setelah pemilu pertama. Tapi kini rupanya ada pertimbangan lain. Kontrol pemerintah terhadap pers memang p.lling efektif dengan melalui SIT. Di samping itu, seperti dikatakan Menteri Penerangan Ali Moertopo di depan para pemimpin redaksi pekan lalu, pada dasarnya SIT hanyalah alat untuk mengembangkan pers nasional supaya "ada keseimbangan". "Bukan bermaksud pemberangusan," kata Menteri pula. Ali Moertopo memang beberapa tahun yang lalu pernah dikutip mengatakan bahwa baginya kemerdekaan pers adalah "mahkota" Orde Baru. Harus diakui memang salah satu ciri pokok Orde Lama adalah pers yang tidak bebas. Boleh Kritik Tak akan adakah kelak pembrangusan pers lagi? Belum pasti. Tapi Presiden Soeharto mendapat tepuk tangan yang hangat, dan Menteri Ali Moertopo yang duduk di sampingnya tersenyum. Ketika itu di depan para pemimpin redaksi ia berkata jelas agar pers tak perlu was-was "jika menyiarkan segala bentuk penyelewengan dan ketidak-beresan dalam masyarakat, termasuk dalam tubuh aparatur negara." Juga, kata Presiden, "tidak perlu ragu-ragu dalam melontarkan kritik kepada pemerintah, baik yang di pusat maupun yang di daerah." Tentu saja, seperti ditambahkan segera oleh Kepala Negara, asal kritik itu disampaikan dengan tanggungjawab. Harus diakui bahwa pers bisa tanpa pikir panjang mengobarkan rasa permusuhan antar kelompok agama atau ras. Bahkan ada yang atas nama "kritik" melakukan pemerasan. Masalahnya ialah bagaimana kontrol terhadap pers tak cenderung terperosok ke arah tindakan yang semena mena -- seperti tempo hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus