Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sang sakerta gugur (sebuah dongeng)

Sejarah tidak mencatat bagaimana musnahnya bahasa sansekerta. bahasa ini dulunya dipakai oleh para rsi dalam memanjatkan doa dan mantera. bahasa yang musnah secara sadar, sistematis dan pelan-pelan.

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA Sansekerta sudah mati. Kapan matinya? Siapa pembunuhnya? Sejarah tidak mencatat adanya penyerbuan besar-besaran, bencana alam atau penyakit yang memusnahkan semua pemakai bahasa yang mulia itu. Tidak pula tercatat adanya suatu peristiwa di mana semua pemakai bahasa itu tiba-tiba memutuskan untuk mengganti bahasa mereka. Namun bahasa itu mustinya pernah ada. Para pemakainya pun mustinya pernah ada. Untuk kita ada ditinggalkan beberapa jilid Veda, dan beberapa drama yang agung, seperti Syakuntala, Impian Sang Vasavadatta Semuanya ditulis dalam bahasa yang baik dan baku, serta dalam ejaan yang disempurnakan. Namun semuanya mati. Sebegitu matinya, sehingga melafalkan bahasa itu saja pun tidak ada lagi manusia sekarang yang bisa. Kalau sekarang kita belajar bahasa itu, yang kita pelajari adalah arti-kata, susunan kalimat, konjugasi sepuluh akar-kata, dan lainlain seperti itu. Kalau kita juga belajar mengucapkannya, ucapan itu adalah hasil rekaan saja. Para pemakai bahasa itu tidak dibunuh-punah oleh siapa pun. Tidak oleh musuh dari luar, tidak oleh bencana alam atau penyakit menular yang ganas. Bahasa itulah yang dibunuh, secara sadar, sistimatis dan pelan-pelan. Ibarat pohon yang dibiarkan sampai rindang dan menghasilkan beberapa Veda dan drama yang agung, lantas dipasung: tunas baru disiarlgi, tidak diberi angin baru, tidak dipupuk, ranting serta daun-daun yang rontok direkatkan kembali dengan selotip, yang berubah warna dicat-semprot dengan warna aslinya semua ini demi menjaga kemurnian dan keaslian pohon itu. Dan demi fungsinya sebagai simbol pemersatu rakyat, dan sebagai ukuran yang menunjukkan bangsa. Masih untung sudah menghasilkan, karena sejak itu kerdillah dia. Yang jelas, bahasa itu dipakai oleh para rsi untuk memanjatkan doa serta mantera juga dipakai oleh rakyat untuk menghadap para bangsawan dan para rsi. Oleh karena itu bahasa itu diajarkan pada ca]on rsi, serta pada rakyat agar mudah menghadap. Dan tugas mengajar ini jatuh pada para rsi dan ahli bahasa yang rupanya sudah berkurang kreativitasnya. Namun lama kelamaan, kedudukan bahasa itu mulai terpojok, terbatas pada doa dan mantera usang, pembicaraan-pembicaraan klise dan pidato-pidato. Orang-orang masih mempelajarinya terutama untuk lulus ujian agar dapat diangkat menjadi rsi atau pegawai kerajaan. Para pengrajin, petani dan pedagang mulai memakai bahasa lain, yang lebih luwes. Jelas para rsi tidak senang serta mulai memerangi hal ini. Bahasa kaum rendahan itu diberi nama jelek, prakrta atau krta dasar, atau krta kasar, maksudnya: bahasa pasaran. Sedangkan bahasa yang dipujikan itu dinamakan sanskrta, yaitu krta bersama, yang maksudnya bahasa persatuan. Kemudian didirikan pula sociteit bahasa, serta berbagai satuan tugas bahasa. Sewindu sekali diadakan pula Sidang Agung Bahasa. Setiap minggu Rsi Chanakya (semua nama disamarkan untuk menghindari pembalasan dan atau tuntutan) mengundang seluruh rakyat ke alun-alun untuk belajar bagaimana berbahasa yang baik, serta untuk mengenal istilahi-stilah yang katanya asli, serta konjugasi yang logis. Bahkan Sri Ratu sendiri berhasil diyakinkan sehingga bersedia meresmikan suatu tulisan baru, yang dijanjikan akan dapat menjadikan bahasa itu kuat dan besar. Mengusir Kata Asing Sidang Agung yang ke XXIII menghasilkan saran-saran mengenai istilah-istilah dan cara menuliskan nama. Sementara itu, sebagian rsi menyibukkan diri dengan mengusir kata-kata asing. Sebagian lagi dengan pembakuan kosa-kata. Pengajaran juga ditekankan pada hal-hal itu, tapi sedikit simpang-siur. Rsi Maitreya menganut sistim linguistik struktural, rsi Radanika cuma memakai linguistik konjugal, rsi Charudatta mengobral linguistik onderdal. Begitulah, ada yang menekankan pentingnya pepatah-pepatah tua, ada pula yang menekankan logika, ada pula yang gemar rumus-rumus .... Sementara itu rakyat makin berkurang saja jumlahnya yang dapat berbahasa persatuan dengan baik. Dan bersamaan dengan berkurangnya nilai komersial dari kedudukankedudukan pegawai kerajaan serta rsi, berkurang pulalah nilai ujian-ujian, dan merosotlah minat orang untuk mempelajari bahasa persatuan itu. Tidak lama sesudah itu matilah bahasa itu. Tragisnya, para pengrajin, para petani dan pedagang tidak bersedih atau merasa kehilangan. Mereka terus saja melakukan business sehari-hari mereka, disertai senda-gurau dan lelucon-lelucon yang menyerempet-nyerempet etika dan susila, dalam bahasa pasaran mereka yang hidup, luwes dan kuat. Bahasa itu bahkan hidup terus sampai saat ini, lebih duaribu tahun kemudian, dalam berbagai bentuk dan cabang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus