BAHASA Sansekerta sudah mati. Kapan matinya? Siapa pembunuhnya?
Sejarah tidak mencatat adanya penyerbuan besar-besaran, bencana
alam atau penyakit yang memusnahkan semua pemakai bahasa yang
mulia itu. Tidak pula tercatat adanya suatu peristiwa di mana
semua pemakai bahasa itu tiba-tiba memutuskan untuk mengganti
bahasa mereka.
Namun bahasa itu mustinya pernah ada. Para pemakainya pun
mustinya pernah ada. Untuk kita ada ditinggalkan beberapa jilid
Veda, dan beberapa drama yang agung, seperti Syakuntala, Impian
Sang Vasavadatta Semuanya ditulis dalam bahasa yang baik dan
baku, serta dalam ejaan yang disempurnakan. Namun semuanya mati.
Sebegitu matinya, sehingga melafalkan bahasa itu saja pun tidak
ada lagi manusia sekarang yang bisa. Kalau sekarang kita belajar
bahasa itu, yang kita pelajari adalah arti-kata, susunan
kalimat, konjugasi sepuluh akar-kata, dan lainlain seperti itu.
Kalau kita juga belajar mengucapkannya, ucapan itu adalah hasil
rekaan saja.
Para pemakai bahasa itu tidak dibunuh-punah oleh siapa pun.
Tidak oleh musuh dari luar, tidak oleh bencana alam atau
penyakit menular yang ganas.
Bahasa itulah yang dibunuh, secara sadar, sistimatis dan
pelan-pelan. Ibarat pohon yang dibiarkan sampai rindang dan
menghasilkan beberapa Veda dan drama yang agung, lantas
dipasung: tunas baru disiarlgi, tidak diberi angin baru, tidak
dipupuk, ranting serta daun-daun yang rontok direkatkan kembali
dengan selotip, yang berubah warna dicat-semprot dengan warna
aslinya semua ini demi menjaga kemurnian dan keaslian pohon
itu. Dan demi fungsinya sebagai simbol pemersatu rakyat, dan
sebagai ukuran yang menunjukkan bangsa. Masih untung sudah
menghasilkan, karena sejak itu kerdillah dia.
Yang jelas, bahasa itu dipakai oleh para rsi untuk memanjatkan
doa serta mantera juga dipakai oleh rakyat untuk menghadap para
bangsawan dan para rsi. Oleh karena itu bahasa itu diajarkan
pada ca]on rsi, serta pada rakyat agar mudah menghadap. Dan
tugas mengajar ini jatuh pada para rsi dan ahli bahasa yang
rupanya sudah berkurang kreativitasnya.
Namun lama kelamaan, kedudukan bahasa itu mulai terpojok,
terbatas pada doa dan mantera usang, pembicaraan-pembicaraan
klise dan pidato-pidato. Orang-orang masih mempelajarinya
terutama untuk lulus ujian agar dapat diangkat menjadi rsi atau
pegawai kerajaan. Para pengrajin, petani dan pedagang mulai
memakai bahasa lain, yang lebih luwes.
Jelas para rsi tidak senang serta mulai memerangi hal ini.
Bahasa kaum rendahan itu diberi nama jelek, prakrta atau krta
dasar, atau krta kasar, maksudnya: bahasa pasaran. Sedangkan
bahasa yang dipujikan itu dinamakan sanskrta, yaitu krta
bersama, yang maksudnya bahasa persatuan. Kemudian didirikan
pula sociteit bahasa, serta berbagai satuan tugas bahasa.
Sewindu sekali diadakan pula Sidang Agung Bahasa. Setiap minggu
Rsi Chanakya (semua nama disamarkan untuk menghindari pembalasan
dan atau tuntutan) mengundang seluruh rakyat ke alun-alun untuk
belajar bagaimana berbahasa yang baik, serta untuk mengenal
istilahi-stilah yang katanya asli, serta konjugasi yang logis.
Bahkan Sri Ratu sendiri berhasil diyakinkan sehingga bersedia
meresmikan suatu tulisan baru, yang dijanjikan akan dapat
menjadikan bahasa itu kuat dan besar.
Mengusir Kata Asing
Sidang Agung yang ke XXIII menghasilkan saran-saran mengenai
istilah-istilah dan cara menuliskan nama. Sementara itu,
sebagian rsi menyibukkan diri dengan mengusir kata-kata asing.
Sebagian lagi dengan pembakuan kosa-kata. Pengajaran juga
ditekankan pada hal-hal itu, tapi sedikit simpang-siur. Rsi
Maitreya menganut sistim linguistik struktural, rsi Radanika
cuma memakai linguistik konjugal, rsi Charudatta mengobral
linguistik onderdal. Begitulah, ada yang menekankan pentingnya
pepatah-pepatah tua, ada pula yang menekankan logika, ada pula
yang gemar rumus-rumus ....
Sementara itu rakyat makin berkurang saja jumlahnya yang dapat
berbahasa persatuan dengan baik. Dan bersamaan dengan
berkurangnya nilai komersial dari kedudukankedudukan pegawai
kerajaan serta rsi, berkurang pulalah nilai ujian-ujian, dan
merosotlah minat orang untuk mempelajari bahasa persatuan itu.
Tidak lama sesudah itu matilah bahasa itu.
Tragisnya, para pengrajin, para petani dan pedagang tidak
bersedih atau merasa kehilangan. Mereka terus saja melakukan
business sehari-hari mereka, disertai senda-gurau dan
lelucon-lelucon yang menyerempet-nyerempet etika dan susila,
dalam bahasa pasaran mereka yang hidup, luwes dan kuat. Bahasa
itu bahkan hidup terus sampai saat ini, lebih duaribu tahun
kemudian, dalam berbagai bentuk dan cabang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini