PEMERINTAH Indonesia adalah ~pemerintah yang tak mau berleha-leha dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Nah, ketika kebijaksanaan impor truk built up dalam realisasinya tersendat-sendat, langsung keluar izin bagi pengusaha angkutan untuk mengimpor sendiri truk-truk yang dibutuhkannya. Timbul pertanyaan, mungkinkah perusahaan angkutan mengimpor sendiri truk-truk itu ? Kita tahu, membeli truk impor bukanlah hal yang mudah -- biarpun misalnya pemerintah telah menurunkan bea masuk dari 15% (Mei 1990) menjadi 0~%. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu kejelasan. Misalnya, apakah truk yang diimpor kelak akan memenuhi syarat laik darat seperti ditetapkan Ditjen Perhubungan Darat? Di samping itu, importir juga harus memilih truk sesuai dengan spesifikasi yang diizinkan pemerintah. Ini erat kaitannya dengan pelayanan purnajual. Maksudnya, kalau jenis truk yang diimpor ternyata berlainan dengan yang dipasarkan di Indonesia, maka perusahaan pemakainya akan mengalami kesulitan. Baik untuk suku cadang maupun perbaikan. "Dalam keadaan mendesak seperti sekarang, usul pembebasan impor ini bagus. Tapi, ya itu tadi, pelaksanaannya gampang-gampang susah," kata Soebronto Laras, dirut Suzuki Group yang juga menjabat ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Pemerintah agaknya memahami kendala yang diutarakan oleh Soebronto itu. Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo mengatakan bahwa untuk menghindari kendala, maka impor tidak akan dilakukan oleh perusahaan angkutan masing-masing. "Pemerintah akan menunjuk satu BUMN sebagai koordinator," katanya. Jadi, perusahaan angkutan yang berniat mengimpor truk built up akan dikoordinasikan oleh Organda. Lalu, organisasi ini yang mengajukan pesanan pada BUMN yang kelak ditunjuk oleh pemerintah. Dengan begitu, "Soal after sales service, soal laik darat, dan masalah-masalah lainnya akan menjadi tanggung jawab BUMN tersebut," kata Tungky. Tapi, terlepas dari prosedur impor yang akan ditempuh, sebenarnya Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin pekan lalu tak perlu mengambil kebijaksanaan tersebut. Itu kalau delapan agen tunggal, yang sudah diberi jatah untuk mengimpor 3.000 unit truk jadi, segera merealisasikan kuota impornya. Ternyata, jauh panggang dari api. Maksudnya? Dari delapan, rupanya baru dua agen tunggal yang mengimpor 100 unit truk. Satu di antaranya adalah Grup Suzuki, yang bulan lalu memasukkan 50 truk Hino dari jatah impor sebanyak 400 unit. Melihat adanya slow motion semac~am itu, wajar kalau timbul dugaan bahwa agen tunggal sengaja memperlambat impor, agar harga truk di dalam negeri tetap melangit. Benarkah ? "Tuduhan itu sama sekali tidak berdasar," Soebronto Laras membantah. Katanya, mengimpor truk jadi itu tidaklah mudah. Soalnya, bukan cuma Indonesia yang meningkat kebutuhannya akan truk, juga beberapa negara lain. Muangthai,~ misalnya, tahun ini membutuhkan truk tambahan 20 ribu unit. Begitupun Jepan~g. "Makanya. Hino yang kami pesan pun datangnya tersendat-sendat," kata Soebronto. Kalau sudah begitu, apa akal ? Perusahaan perakit kini sibuk menambah kapasitas produksinya. "Kami sudah siap," ujar Ketua Gaikindo. Kini, delapan perakit truk mampu memproduksi 20 ribu unit per tahun. Angka ini sesuai dengan besarnya permintaan sepanjang tahun 1990 -- sedangkan permintaan truk tahun lalu hanya sekitar 10 ribu unit. Hanya saja, perlu bersabar. Proses perakitan, yang 70% komponennya dibuat di dalam negeri, melibatkan tidak kurang dari 30 subkontraktor. Jadi, walaupun kapasitas terpasangnya besar, perakit tidak akan bisa berbuat apa-apa bila subkontraktor tidak ikut menaikkan kapasitasnya. Maka, Soebronto pun berkomentar, "Jangan salahkan agen tunggal." Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini