PUPUK naik. Itulah topik hangat di ~kalangan petani akhir-akhir ini. Mereka agak dikejutkan karena, tanpa aba-aba lebih dahulu, Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin pekan lalu memutuskan kenaikan harga pupuk urea, ZA, KCL, dan TSP. Kenaikan itu berkisar antara Rp 210 dan Rp 260. Inilah kenaikan kedua dalam satu tahun terakhir, setelah kenaikan pertama antara Rp 35 dan Rp 50 per kilogram. "Langkah ini sangat tidak sesuai dengan niat Pemerintah, yang menginginkan stok beras nasionalnya terpenuhi," kata seorang petani di Jawa Tengah. "Iya, kalaupun dinaikkan, janganlah setinggi ini," tutur petani lainnya. Pada dasarnya, Pemerintah tidak bermaksud menambah beban petani. Bahkan, "Keputusan ini untuk meningkatkan pendapatan para petani," kata Menteri Penerangan Harmoko, seusai Sidang Ekuin. Buktinya, selain pupuk, Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan harga dasar gabah, beras, dan kedelai. Pembelian gabah oleh KUD dari petani, misalnya, dinaikkan Rp 25 menjadi Rp 295 per kilo. Harga kedelai dikerek dari Rp 400 menjadi Rp 500 per kilogram. Menurut Menteri Pertanian Ir. Wardoyo, ada dua tujuan yang hendak dicapai Pemerintah dari keputusan ini. Pertama, untuk mengurangi subsidi pupuk yang selama ini diberikan Pemerintah. Dan sasaran kedua, untuk meningkatkan pendapatan petani. Sebab, kendati harga pupuk ikut terpompa, "Maksudnya, mungkin, dampak kenaikan pupuk tidaklah sebesar kenaikan harga dasar gabah dan kedelai. Benarkah? Menurut beberapa petani di Pulau Jawa yang dihubungi TEMPO, kenaikan harga pupuk sebesar itu belumlah memberatkan benar kendati tetap saja mengakibatkan bertambahnya biaya produksi. Hanya terhadap petani luar Jawa lain lagi akibatnya, terutama yang panennya cuma sekali dalam setahun. Hadjar, petani dari Kabupaten Ogan Komering Ilir, menyatakan bahwa, dengan harga pupuk yang lama, sawahnya yang dua hektare itu hanya mampu menghasilkan tujuh ton gabah basah per tahun. Atau kalau dirupiahkan, hanya diperoleh Rp 1,8 juta kotor. Setelah dipotong berbagai biaya -- termasuk pupuk, ongkos tanam, dan upah memanen -- akhirnya Hadjar cuma mengantungi sekitar Rp 750 ribu. Angka itu muncul berdasarkan harga penjualan ~gabah kerin~g Rp 300 ribu perton. Artinya, Rp 5 di atas harga dasar baru yang ditetapkan Pemerintah. Maka, wajar kalau petani seperti Hadjar tidak "terlalu bersemangat" menyambut kenaikan ini. Malah, karena harga pupuk naik, "Pendapatan kami jadi berkurang," keluh seorang rekan Hadjar. Suara senada dikemukakan Ponoaji, petani kedelai dari Desa Gayam, Mojokerto. "Saya tidak tahu apa manfaat kenaikan harga dasar tersebut," katanya. Ponoaji memang tak pernah menjual kedelainya pada KUD. Selain itu, harga kedelai saat ini sudah mencapai Rp 850 per kilo. Artinya, jauh di atas harga dasar yang baru. Jadi, kalau Pemerintah memang berniat menaikkan pendapatan petani, "Ya, harga pupuknya jangan dinaikkan," katanya. Ponoaji mungkin tidak tahu, gunanya harga dasar ialah agar harga tidak jatuh di bawah itu. Selain petani, kenaikan harga pupuk juga tidak ada artinya bagi produsen pupuk. Soalnya, seperti yang dinyatakan Sidik Prawira, Direktur Komersial PT Pusri, harga pembelian Pemerintah ke pabrik tetap, alias tidak naik. Dan kalau saja pabrik-pabrik pupuk tidak dibebani misi sebagai agen pembangunan, tampaknya, mereka akan lebih suka menjual produknya ke luar negeri ketimbang pada petani lokal. Apalagi harga ekspor ternyata jauh lebih tinggi ketimbang harga lokal. Urea, misalnya, sekarang dihargai 150 dolar per ton (fob). Atau sekitar Rp 280 per kg. Dan Siddik membenarkan hal itu. "Harga di dalam negeri memang lebih rendah," katanya memastikan. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini