Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA lima menit dari Pluit, Muara Karang, dan sekitarnya. Bebas banjir, akses langsung ke jalan tol, plus fasilitas superlengkap. Cicilan hanya dua jutaan per bulan, untuk tipe 42 meter persegi dengan dua kamar tidur.
Begitu bunyi iklan kompleks apartemen di lahan Bumi Citra Idaman (sebelumnya Bumi Cengkareng Indah atau BCI), Jakarta Barat. Jangan berharap menemukan perumahan sederhana di atas lahan yang menjadi konsesi Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) itu.
Masih di lahan perusahaan milik negara ini, persis di sebelah apartemen, kompleks perumahan tak kalah mewah dengan pertokoan dan pusat perbelanjaan siap dibangun. Pengembangnya menjanjikan ”suasana resor di tengah kota”.
Jangan pula menyangka semua itu ditujukan bagi warga Ibu Kota berpenghasilan rendah agar bisa mendapat hunian layak dengan harga terjangkau, seperti moto Perumnas. Sebab, harga termurah per kaplingnya dibanderol hampir Rp 170 juta untuk ukuran 125 meter persegi. Tentu tak termasuk bangunan.
Bukan hanya tak cocok dengan slogan, pembangunan kawasan dengan harga selangit itu juga meleset dari surat izin penunjukan dan penggunaan tanah (SIPPT) yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, Agustus tiga tahun lalu. Atas permohonan Direktur Utama Perumnas ketika itu, Latief Malang-yudo, tanah seluas sekitar 37 hektare itu akan digunakan untuk membangun wisma sangat kecil, kecil, flat, serta fasilitas sosial dan umum, termasuk penyempurnaan fasilitas taman-taman hijau, saluran, dan jalan raya.
Inilah salah satu penyimpangan yang mengisi laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). Kira-kira sebulan lalu, lembaga nonpemerintah yang aktif mengawasi korupsi ini menyodorkan laporan itu, lengkap dengan segepok dokumen pendukung, kepada Kejaksaan Agung.
Tak sabar menunggu jawaban, dua pekan lalu tim ICW datang lagi menemui Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Suwandi. Mereka mendapat jawaban, laporan mereka akan segera dilanjutkan dengan proses penyelidikan. ”Jaksa Agung sendiri yang minta kami aktif membawa kasus-kasus seperti ini,” kata anggota Badan Pekerja ICW, Adnan Topan Husodo.
Dalam kasus ini, kata Adnan, lembaganya menemukan manipulasi. ”Negara dirugikan ratusan miliar,” katanya. Caranya dengan membuat proses serumit mungkin. Tapi intinya ialah, tanah-tanah Perumnas Cengkareng itu telah dialihkan kepemilikannya, tanpa lebih dulu dibangun rumah-rumah di atasnya.
Kerugian muncul karena, sebelum tanah itu dilepas, Perumnas telah lebih dulu menurunkan harganya. Caranya dengan meminta penurunan nilai jual obyek pajak (NJOP) kepada kantor pajak bumi dan bangunan (PBB) setempat.
Proses itu bermula pada Juli 2000. Melalui Ario Saputro, yang saat itu menjabat Manajer Umum Regional III (meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Perumnas mengirimkan surat permohonan penurunan NJOP.
Bersamaan dengan itu, Ario juga mengirim surat kepada Direktur Korporasi Perumnas, meminta dana operasional untuk proses penurunan itu. Jumlahnya Rp 60 juta, sesuai dengan yang diajukan Manajer Unit Cengkareng, Didin Sutiadi.
Permohonan Perumnas itu dikabulkan Kantor PBB Jakarta Barat. Nilai NJOP, yang sebelumnya Rp 614 ribu per meter persegi, turun hampir separuhnya menjadi Rp 335 ribu.
Tak sampai setahun kemudian, datang tawaran kerja sama dari PT Ancol Pusaka, yang hendak mendirikan bangunan rumah toko di atas lahan itu. Direktur Utama Perumnas waktu itu, Soeroto Martomidjojo, sepakat dengan tawaran harga tanah Rp 741 ribu per meter persegi. Sebagai tanda jadi, pengembang swasta itu membayar uang muka Rp 3 miliar.
Ketika Soeroto dinas ke luar negeri, pada awal Juni 2001, Direktur Administrasi dan Keuangan Asdin Siahaan memberi kuasa kepada Ario Saputro untuk kembali melakukan penjualan atas lahan di tiga blok seluas hampir 26 hektare. Kali ini perusahaan yang digandeng dalam bungkus kerja sama pembangunan dan pemasaran (KSPP) adalah PT Bangun Cipta Karya Perkasa (BCKP).
Dalam akta pengikatan jual-beli, pada 1 Agustus tahun itu, disepakati harga di tiap blok jauh lebih rendah dari penjualan sebelumnya kepada Ancol Pusaka. Rata-rata senilai sekitar Rp 427 ribu per meter persegi. Akta inilah yang dibatalkan Soeroto dua bulan kemudian.
Tapi, lalu diperbarui lagi dengan menambah luas tanah yang dijual menjadi 27 hektare lebih. Dan kembali direvisi pada pertengahan Juni tahun berikutnya oleh Direktur Utama Perumnas yang baru, Latief Malangyudo, dengan luas menjadi sekitar 37 hektare. Dua bulan setelah itu, terbitlah SIPPT dari Gubernur Sutiyoso.
Perjanjian dengan Ancol Pusaka, yang bersedia membayar lebih tinggi, justru dibatalkan pada pertengahan September tahun itu. Atas pembatalan ini, Perumnas bahkan bersedia membayar kembali uang muka Rp 3 miliar berikut bunga 13,75 persen per tahun.
Obral lahan itu berlanjut pada 2003. Kontrak ditandatangani pengganti Latief, Harry A. Jasa Slawat, bersama PT Karya Megah Permai. Yakni atas tanah seluas 27 hektare lebih, dengan harga sekitar Rp 550 ribu per meter persegi.
Total yang diterima Perumnas dari kedua kontrak KSPP ini lebih dari Rp 311 miliar. ”Saat itu kami kepepet,” kata Latief kepada Tempo, Jumat malam pekan lalu. ”Utang perusahaan lebih dari Rp 500 miliar.” Karena itu, dicari lahan milik perusahaan yang bisa mendatangkan uang banyak dalam waktu cepat, dan pilihannya jatuh pada tanah di Cengkareng itu.
Seperti halnya Latief, Harry, yang kini masih menjabat, menolak keras tudingan bahwa kedua transaksi itu manipulatif. Mereka membantah penurunan NJOP yang dilakukan sebelumnya merupakan bagian terencana dari proses kerja sama dengan pihak swasta.
Dalam laporannya, ICW menganggap penurunan NJOP seperti dilakukan Perumnas dan Kantor PBB Jakarta Barat tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 12/1994 tentang PBB. Tapi Harry Jasa berkukuh. ”Itu tanah kosong,” katanya. ”Jelas kami keberatan dengan pajak yang dipukul rata dan nilainya ratusan juta.”
Ario Saputro dan Didin Sutiadi, yang dihubungi Tempo, mengaku tak terlalu ingat atas proses penurunan NJOP itu. Tapi keduanya, yang kini sudah pensiun, menyebutkan adanya keberatan pembayaran, terkait dengan kondisi keuangan perusahaan yang sedang kering saat itu.
Mengenai harga yang dianggap terlampau murah, Harry mengatakan itu karena lahan yang dijualnya ”tanah matang”. Artinya, harga yang diterimanya tidak diperhitungkan atas seluruh lahan, tetapi dikurangi dengan luas tanah yang digunakan untuk membangun fasilitas pendukung seperti jalanan dan saluran. ”Paling banter 60 persen saja yang diperhitungkan dalam akta jual-beli,” katanya. ”Ini praktek umum. Sama seperti orang beli kapling di kompleks perumahan.”
Latief dan Harry sama-sama mengatakan tak punya banyak pilihan ketika itu. Tapi Harry mengakui, dengan cara itu perusahaannya memang tak bisa menikmati kenaikan harga tanah yang kini melambung di lahan itu. ”Semua bisa dijelaskan,” kata Latief. ”Kalau kejaksaan meminta, saya siap memberi keterangan.”
ICW menilai kerja sama model ini tak beda dengan penjualan lahan biasa, yang sebenarnya tidak diperbolehkan terjadi di Perumnas. Sebab, Perumnas menerima pembayaran di muka, dan tak lagi memiliki hak apa pun atas lahan maupun pendapatan dari pengelolaan perumahan. ”Apalagi dengan harga lebih rendah dari NJOP, yang tahun itu sudah Rp 916 ribu per meter,” kata Adnan. Harga pasaran tanah di sekitarnya bahkan mencapai Rp 1 juta-Rp 3 juta per meternya.
Dengan patokan itulah ICW menduga, yang sebenarnya terjadi dalam proses ini adalah sebuah modus yang ujungnya sangat merugikan Perumnas. ”Kerugian negara bisa mencapai Rp 300 miliar lebih,” ujar Adnan.
Melihat angka yang mungkin telah menguap ini, beberapa pengurus serikat karyawan yang ditemui Tempo di kantor pusat Perumnas menyatakan dukungannya agar kejaksaan mengusut kasus ini. ”Kalau bisa, uang dikembalikan,” kata seorang pengurus yang enggan dikutip namanya.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo