Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI dalam rumah berukuran 6 x 7 meter di Kampung Cicurug, Desa Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, sepuluh anak membentuk lingkaran kecil, Rabu malam pekan lalu. Sambil mengelilingi ”lampu totok” dari bekas kaleng susu, mereka khusyuk mengaji. Kepala anak-anak itu terus menunduk membaca huruf- huruf Al-Quran yang samar-samar terkena cahaya lampu berbahan bakar solar itu. ”Poek (gelap). Susah sekali bacanya. Harus menunduk supaya kebaca,” kata Ulung, 9 tahun.
Asam hitam mengepul tertiup angin semilir yang mengalir lewat sela-sela bilik dan jendela yang sedikit terbuka. Anak-anak itu mengibas-ngibaskan tangannya mengusir asap yang mengenai hidung dan matanya. ”Setelah ngaji, hidung jadi item,” ujar Ulung tersenyum.
Kampung Cicurug berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat kota Pandeglang. Jika malam tiba, kampung yang dihuni 60 kepala keluarga itu sangat gelap. Penerangan di setiap rumah penduduk hanya menggunakan lampu totok atau aki. Armaya menuturkan, kampung ini memang belum dialiri listrik. ”Saya lahir lima tahun setelah Indonesia merdeka. Dari saya kecil sampai sekarang belum pernah saya menikmati listrik,” tutur laki-laki 60 tahun itu.
Tahun lalu, penduduk di sana pernah meminta pemerintah Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten mendesak PT PLN mengalirkan listrik ke kampung mereka. Namun hingga kini listrik belum juga mampir ke desa di atas perbukitan itu. Menurut Armaya, pemerintah sempat menawarkan dua kilowatt ketika ada Program Listrik Desa (Lisdes). Tapi penduduk desa Cibaliung harus membayar Rp 200 ribu. ”Setahu saya program Lisdes itu gratis,” ujar kakek empat cucu ini.
Tanpa listrik, setiap bulan Armaya menghabiskan Rp 30 ribu untuk membeli solar. Padahal penduduk Sabrang, kampung tetangga Cicurug yang sudah dialiri listrik, hanya mengeluarkan Rp 15 ribu per bulan untuk membayar listrik. Sabrang dan Cicurug hanya berjarak 1,5 kilometer.
Masyarakat Cicurug hanyalah segelintir dari jutaan penduduk Indonesia yang belum kebagian listrik. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengatakan, berdasarkan survei, 18,9 juta kepala keluarga dari total 53 juta keluarga belum mendapatkan setrum. Mereka umumnya berada di Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Di provinsi lain, rasio elektrifikasi (rasio pelanggan listrik dengan total penduduk) sudah 75 persen. ”Di tiga daerah itu baru 50 persen,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta dua pekan lalu.
Perusahaan Listrik Negara enggan disalahkan. Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, saat berkunjung ke redaksi Tempo pekan lalu, mengatakan bahwa peningkatan elektrifikasi merupakan kewajiban pemerintah, bukan tanggung jawab PLN. Saat membahas rencana kenaikan tarif dasar listrik di Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu, mantan bos Grup Jawa Pos ini sempat menanyakan kewajiban elektrifikasi kepada Darwin. ”Pak menteri bilang, elektrifikasi kewajiban pemerintah,” kata Dahlan.
Sumber Tempo membisikkan, PLN sebenarnya bisa ikut mendorong peningkatan elektrifikasi. Masalahnya, PLN tak punya banyak dana investasi untuk menyediakan infrastruktur kelistrikan, termasuk masalah sepele, seperti pemasangan tiang listrik. Puluhan triliun rupiah dana subsidi listrik dari pemerintah hanya cukup untuk biaya operasional PLN. ”Tak cukup untuk membangun infrastruktur dan jaringan listrik baru,” katanya.
Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Nasri Sebayang menambahkan, PLN membutuhkan dana investasi sekitar Rp 72 triliun setahun untuk membangun infrastruktur kelistrikan selama lima tahun ke depan. Jika tarif dasar listrik hanya naik rata-rata 10 persen per tahun, sulit bagi PLN untuk mengumpulkan dana investasi itu. ”Kalau tarif listrik naik 15 persen, mungkin PLN bisa,” ujarnya.
Selain itu, perusahaan pelat merah itu akan mampu berinvestasi bila upah melayani publik—dikenal dengan istilah alfa—yang diberikan pemerintah di atas 10 persen. Manajemen PLN ngotot meminta upah tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Energi, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat di ruang Komisi VII, Senayan, Jakarta, April lalu. Tapi permintaan PLN ditolak. ”Kami hanya diberi alfa 8 persen,” kata Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin. Jadilah sepertiga Indonesia masih gelap hingga kini.
Padjar Iswara, Angga Sukma Wijaya (Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo