Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Jenazah Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong diotopsi pada Senin, 14 Juni 2021. Proses otopsi dilakukan di Rumah Sakit Liun Kendage Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah diotopsi sejak subuh jam 04.00 WITA. Tim dari Mabes Polri yang turun langsung,” ujar aktivis Gerakan Save Sangihe Island Jull Takaliuang saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jull mengatakan aktivis dan masyarakat di Sangihe akan mengawal jalannya proses otopsi. “Tentu bersama masyarakat Sangihe yang sangat mencintai beliau,” ujar Jull.
Saat ditemui terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast menyatakan, penyebab kematian Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong, lantaran menderita komplikasi penyakit.
Hasil itu didapat setelah tim dokter mengotopsi jenazah Helmud. "Untuk hasil sementara terkait otopsi menurut dokter karena komplikasi penyakit. Jadi meninggalnya karena sakit," ucap Jules saat dihubungi pada Senin, 14 Juni 2021.
Namun detail ihwal komplikasi penyakit, Jules menolak membeberkan. Ia mengatakan, tim dokter akan menggelar konferensi pers pada siang nanti untuk menyampaikan kepada publik secara lebih lengkap. "Dari dokter nanti yang bisa sampaikan terkait komplikasi penyakit," ujar Jules.
Helmud meninggal secara mendadak di pesawat Lion Air dalam perjalanan rute Denpasar-Ujungpandang, Makassar, 9 Juni lalu. Sebelum meninggal, Helmud aktif menolak penguasaan lahan pertambangan emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, seluas 42 ribu hektare yang izinnya dimiliki PT Tambang Mas Sangihe.
Helmud bahkan sempat mendesak izin usaha pertambangan atau IUP untuk PT TMS tersebut dibatalkan. Penolakan disampaikan melalui surat pribadi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tertarikh 28 April 2021.
Dalam salinan suratnya, Helmud mengatakan usaha pertambangan ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Musababnya, Pulau Sangihe adalah pulau kecil dengan luas 73 ribu hektare dan sangat rentan terhadap aktivitas pertambangan.
Kegiatan pertambangan juga dikahwatirkan akan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat karena merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang, dan biota laut. Penguasaan wilayah pertambangan pun ditengarai akan berimbas pada hilangnya sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat.
Bahkan, masyarakat di sekitar Sangihe berpotensi terusir dari kampungnya dalam jangka panjang. Situasi tersebut ditakutkan akan melahirkan masalah sosial baru. Belajar dari pengalaman, Helmud meminta Kementerian ESDM mempertimbangkan pemberian izin tambang karena hanya akan menguntungkan pemegang kontrak dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Di samping itu, wilayah Sangihe merupakan daerah perbatasan sehingga jika terjadi masalah akan menimbulkan konflik.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ANDITA RAHMA