Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jenjang angka 1988

Bank-bank pemerintah masih terbesar dalam pengumpulan dana & pemberi kredit. namun, dari permodalan bank-bank swasta, BCA, dsb, terkuat. pemerintah akan mengurangi kredit untuk golongan ekonomi lemah.

15 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI akhir 1988, insya Allah, bank-bank pemerintah masih paling dipercaya para pemilik uang. Kemenonjolan mereka terlihat dalam "Jenjang Bank-Bank di Indonesia" susunan Perbanas. Berita Perbanas edisi Maret 1989 menampilkan dana pihak ketiga (giro, tabungan, dan deposito) yang dihimpun seluruh bank nasional ada Rp 31.628 milyar -- sekitar 61% berada di 7 bank pemerintah. Jika ditambah dana yang dikumpulkan BPD-BPD (bank-bank milik pemda dari 27 provinsi) sebesar Rp 1.290 milyar, total menjadi 65%. Kendati begitu, jika dilihat dari sisi permodalan, daya tarik bank-bank swasta nasional ternyata masih lebih kuat. Dengan modal dan cadangan Rp 827 milyar, mereka berhasil menghimpun dana masyarakat sampai 13,5 kali lipat, yakni Rp 11.312 milyar. Sedangkan bank-bank BUMN dan BUMD dengan modal dan cadangan yang berjumlah Rp 3.566 milyar, hanya bisa menarik dana masyarakat 5,8 kali lipat. Namun, bank-bank pemerintah tetap merupakan pemberi kredit terbesar di negeri ini. Pada akhir 1988, total kredit yang disalurkan semua bank pemerintah mencapai Rp 55.158 milyar. Ketujuh bank pemerintah (BNI, BBD, BRI, BDN, BEII, Bapindo, dan BTN) menyalurkan Rp 40.673 milyar (72%), sementara BPD-BPD menyalurkan Rp 1.184 milyar (2,1%). Hal itu tak menutup kenyataan bahwa bank-bank pemerintah masih lebih banyak berperan sebagai kasir Bank Sentral. Hal itu terlihat pada perbandingan total kredit yang mereka salurkan (Rp 40.673 milyar), hampir dua kali lipat jumlah modal dan cadangan mereka, ditambah dana pihak ketiga. Itu berarti hampir 50% kredit dari bank-bank pemerintah merupakan kredit untuk pengusaha golongan ekonomi lemah (pegel). Kabarnya, kredit pegel ini dalam waktu dekat hendak dikurangi pemerintah, antara lain karena bersifat inflatoar (TEMPO, 18 Maret 1989). Sementara. itu, tampaknya bank-bank pemerintah, yang disebut sebagai agen pembangunan, semakin rajin mengumpulkan laba. Ketujuh bank pemerintah meraup laba total Rp 660 milyar. Dengan modal Rp 3.359 milyar, berarti ROE (return on equity) mereka sekitar 19,65%, masih lebih tinggi dari bunga deposito yang mereka tawarkan (15% sampai tinggi 19,50% per tahun). ROE bank-bank swasta nasional, yang jelas berorientasi komersial, lebih tinggi lagi. Dengan modal dan cadangan sebesar Rp 827 milyar, bank-bank swasta nasional itu bisa mencari laba Rp 217,7 milyar atau ROE rata-rata 26,3%. Bank Tabungan Pensiunan Nasional paling hebat memetik ROE (73%), menyusul Bank Niaga dengan ROE 62%, kemudian Bank Bali yang meraup ROE 60%. Bank Central Asia masih merupakan bank swasta nasional terbesar. Asetnya Rp 2.349 milyar. BCA paling banyak mengumpulkan dana pihak ketiga (Rp 1.175 milyar). "Kebanyakan deposan BCA ibu-ibu dari Menteng dan Pondok Indah," tutur Dirut BCA Abdullah Ali. "Tapi jumlah giro kita juga bagus." Dari giro itu, BCA mengembangkan bisnis impor, ekspor, lalu lintas uang, dan perdagangan. Dengan memantapkan perbankan individu (reail banking) itu, banyak cek BCA beredar di masyarakat. BCA juga merupakan bank swasta pemberi pinjaman terbesar (Rp 1.218 milyar). "Kredit terbesar pada bisnis perdagangan dan industri. Bunga rata-rata 2,1% per bulan, itu cukup rendah. Tingkat kemacetan paling hanya 1%," ujar Ali. BCA memberikan kredit kepada pengusaha yang mempunyai relasi yang mau memberikan jaminan. "Pedagang itu mempunyai budaya malu. Jika ada yang tak membayar utang, keluarganya menjual rumah atau barang lain," kata Ali. Kendati ROE-nya hanya sekitar 21,4%, jumlah laba yang diperoleh BCA juga paling banyak. Menurut Dirut BCA, laba tahun silam sudah meningkat 40% dibandingkan laba tahun sebelumnya. Bank swasta papan tengah seperti NISP, di peringkat ke-20, ternyata hanya bisa meraih ROE sekitar 15%. Bank yang memiliki modal dan cadangan 11,4 milyar itu mencatat laba Rp 1,7 milyar. "Keuntungan memang tak bisa dipaksa setinggi mungkin," kata Direktur NISP Anwary Suryaudaya, yang duduk juga dalam kepengurusan Perbanas. Tak lama sesudah Pakto diumumkan, NISP selesai membangun gedungnya yang baru di Bandung, di samping menyelenggarakan pendidikan karyawan. Dan itu semua perlu biaya. Selain itu, menurut Anwary, ada kenaikan biaya operasional bagi bank-bank. Antara lain karena rasio giro menurun, sementara deposito meningkat. Perluasan segmen pelayanan juga menambah biaya administrasi. "NISP cabang Bandung melayani sampai dengan tukang sapu lidi. Orang yang mempunyai Tabanas Rp 50.000 pun, kalau mau kredit, bisa kami berikan Rp 40.000," tutur Anwary. Tercatat dua bank swasta nasional merugi di akhir 1988. Bank Pertiwi, yang tumbang setelah Pakto, pada akhir 1988 masih mencatat laba Rp 136 juta. Marannu Bank, yang sempat terkena tunggakan pinjaman antarbank oleh Bank Pertiwi, rugi Rp 209 juta. Bank Nasional dari Padang, yang akhir-akhir giat melakukan ekspansi sampai ke pusat, tahun silam rugi Rp 2.225 juta. Keadaan bank Arta Pusara, Pinaesaan, Susila Bakti, dan Swaguna tak jelas, karena laporan keuangan mereka per 31 Desember 1988 belum diperoleh Perbanas. Sementara itu, 11 bank asing tampaknya semakin kedodoran. Dana pihak ketiga yang telah mereka kumpulkan Rp 1.092 milyar, sedangkan pinjaman yang disalurkan Rp 1.988 milyar. Citibank masih merupakan bank asing paling top. Bank dari Amerika ini sangat agresif mencari dana masyarakat, pernah antara lain menawarkan tiket undian terbang ke AS, serta undian bunga dua kali lipat dari yang berlaku. Tak mengherankan jika dana ketiga yang masuk ke Citibank pada akhir 1988 mencapai Rp 315 milyar. "Kami memang kedodoran dalam depoito, tapi lainnya kuat," kata Pieter Korompis, salah seorang Vice President Citibank. Kredit yang disalurkan Citibank mencapai Rp 70 milyar, tentu saja harus ditombok dari dana luar negeri. Labanya ternyata hanya Rp 9 milyar, kalah dibandingkan bank asing kedua terbesar -- Bank of Tokyo -- yang meraup laba Rp 21 milyar. Ini terjadi karena Citibank terlalu banyak terjun ke retail banking. "Bank kan bukan hanya sekadar meminjam dan meminjamkan. Ibarat menjual bakmi, kalau sudah banyak, harus diperluas jenisnya." Karena itu menurut Pieter, Citibank hendak meningkatkan segi pelayanan perusahaan (corporate banking). Chase Manhattan Bank, yang sangat agresif menawarkan deposito dalam berbagai mata uang, tahun silam masih mencatat rugi Rp 9,3 milyar. Bahkan modal dan cadangannya sudah minus Rp 7 milyar. Bangkok Bank juga masih mencatat rugi Rp 3,5 milyar.MW, Budiono Darsono, Tri Budianto Soekarno, Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum