SUASANA belajar yang semula tenang berubah hiruk-pikuk. Sekitar 30 petugas Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) "menyerbu" SMA I KNPI yang terletak di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sore itu, Selasa pekan lalu, petugas Kamtib yang disertai polisi mengumpulkan murid yang tadinya belajar di tiga ruangan. Sekolah itu ternyata tak punya izin operasional. Uniknya lagi, menggunakan gedung pemerintah tanpa izin. Kepala Kamtib Jakarta Utara, M. Rusdi, setelah meminta agar murid-murid itu pulang, memerintahkan bawahannya mengangkuti 45 buah meja belajar, lemari, dan papan tulis. Gedung itu pun disegel. Penyegelan itu berdasarkan perintah Wali Kota Jakarta Utara H.R. Moeljadi. Kepala sekolah itu, Hermanto Darangke, sudah berkali-kali diperingatkan agar tidak menempati gedung itu. Semula itu adalah gedung SD 08. Karena muridnya sedikit SD 08 digabung dengan SD 07, dan gedung bekas SD 08 itu pun kosong. Entah bagaimana caranya, Hermanto "menguasai" gedung ini. Menurut H.R. Moeljadi, Hermanto sudah menyatakan kesediaannya untuk memindahkan murid-mundnya, bahkan menutup sekolah itu. Kenyataannya, sekolah ini jalan terus. "Hermanto itu orangnya memang bandel," kata Moeljadi. Hermanto, 27 tahun, bukan aktivis apalagi pengurus KNPI. Tapi ia mengaku pernah menjadi pengantar surat di DP KNPI DKI Jaya. Dan kalau ada kesibukan di KNPI ia sering dilibatkan. Pemuda yang drop-out dari STIA (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi) Jakarta ini mendirikan sekolah dengan maksud melaksanakan program KNPI di bidang pendidikan. SMA KNPI diresmikan 1987 -- sebelumnya bernama SMA Remaja Filial. Penggunaan nama KNPI, kata Hermanto, setelah mendapatkan rekomendasi dari Ketua KNPI Jakarta Utara, Jonggi J.P. Sihombing, Juli 1987. "Mulanya sekolah ini dianggap sebagai proyek percontohan KNPI. Kalau berhasil, akan diterapkan di daerah-daerah," kata Hermanto. Tapi belakangan KNPI Jakarta Utara mencabut rekomendasinya. Dalam suratnya kepada Wali Kota Jakarta Utara, Februari 1989, Jonggi menyatakan bahwa SMA KNPI Cilincing menggunakan nama KNPI sewenang-wenang. Nama KNPI dipakai untuk mencari fasilitas, bahkan kemudian mendirikan Yayasan KNPI. "Dia (Hermanto) itu semaunya sendiri, saya tak pernah memberi izin pada yayasan itu," kata Jonggi pada TEMPO. Tapi Hermanto tetap berniat meneruskan sekolah yang dipimpinnya. Sekolah itu sendiri miskin murid, walau kabarnya bayaran di sana tergolong mahal. Murid kelas satu 15 orang, kelas II hanya 9 murid dan kelas III, yang kini siap-siap ikut Ebtanas, 26 orang. Gurunya ada 17 orang, sembilan di antaranya guru tetap. Hermanto mengakui sekolah itu tak punya izin operasional. "Sudah berkali-kali mengajukan izin, selalu kandas," katanya. Apa tindak lanjut pemerintah? Wali Kota Jakarta Utara sudah mengambil langkah-langkah bersama Kepala P dan K Jakarta Utara agar semua siswa SMA KNPI itu ditampung di SMA PGRI 20. Pihak PGRI sudah menyanggupi. Tapi, "Hermanto ingin SMA KNPI itu nggak ditutup. Dia maunya melanggar terus, ya nggak bisa," kata Soebandio, Kepala P dan K Jakarta Utara. Yang jelas, menurut Kepala Kanwil P dan K DKI, Soegijo, "sekolah itu, ya, sekolah liar." Sedangkan Ketua DPP KNPI Didiet Haryadi secara tegas berkata, "Tidak ada sekolah apa pun di seluruh Indonesia yang punya hubungan dengan KNPI." Yang jadi persoalan, kenapa baru sekarang sekolah itu disegel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini