TEKA-TEKI minyak pelumas bermerk impor akhirnya terpecahkan sebagian, ketika pekan lalu Ditjen Bea dan Cukai (BC) membongkar 97 kontainer pelumas dari Bangkok. Itulah kontainer pelumas selundupan. Dan karena yang diselundupkan jumlahnya banyak -- sekitar 1,73 juta liter senilai Rp 8,5 milyar -- maka timbul teka-teki baru: apa sih kelebihan pelumas impor? Harga oli impor itu Rp 5.000 sampai Rp 9.000, jauh lebih tinggi dari Mesran buatan Pertamina yang Rp 2.500 per liter. Hanya saja, banyak juga konsumen yang tergoda oli impor. Untuk orang-orang seperti ini, kios-kios memajang berbagai pelumas bermerk impor, seperti Union 76 (Prancis), CCI (Jepang), Total, Sun's Oil, atau Diamond dengan harga yang beragam. Mereka tak tahu, di samping oli impor asli, banyak pula oli impor palsu yang isinya pelumas buatan Pertamina. Celakanya, ada pula yang mengisinya dengan oli bekas yang telah dimurnikan lagi. Yang ini harganya pun jauh lebih murah. Dan risikonya tentu ada: mesin lebih cepat rusak dibuatnya. Dugaan mengenai oli impor yang palsu ini, cocok dengan informasi yang diungkapkan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita belum lama berselang. Tapi, setelah kasus oli selundupan terbongkar, perkara oli impor palsu itu tampaknya harus ditinjau kembali. Apalagi pekan-pekan ini muncul iklan di berbagai media yang menjajakan pelumas merk Union 76, yang jelas-jelas dilarang impor. Si pemasang iklan dengan berani menyatakan bahwa yang ditawarkannya adalah: oli Union asli, yang kini resmi beredar lagi di Indonesia. Begitu pula jenis yang ditawarkannya cukup lengkap. Mulai dari SAE 20W-50 High Performance, SAE 30 Heavy Duty, SAE 40, SAE 90 MP Gear Lube, hingga Multi-Purpose ATF (Dextron II) Ini membingungkan banyak pihak. Mengapa? Keppres No. 66 Tahun 1983, yang kemudian diperlengkap dengan dua Keppres berikutnya yang terbit tahun 1987-1988, menetapkan bahwa pelumas tak boleh lagi diimpor. Kalaupun masih ada beberapa jenis yang belum diproduksi di dalam negeri, hak impornya hanya ada pada Pertamina. Masalahnya kini, hak impor itu diapakan? Apakah Pertamina harus gigit jari, atau penyelundup tak lagi dibiarkan beraksi? Inilah yang kebenarannya masih berada di luar jangkauan penegak hukum. Dan sampai detik ini pun Dirjen BC Sudjana Surawidjaja baru dapat mengatakan, "Minyak pelumas dengan merk luar negeri tersebut sebenarnya asli." Cara menyelundupkannya konon sangat sederhana. Importir hanya mengubah kode pos tarif, dari 2710.00.911 (kode untuk minyak pelumas kendaraan bermotor) menjadi 2710.00.913 (kode untuk minyak pelumas mesin-mesin lainnya. Selain itu, untuk mengelabui petugas BC, oli-oli impor itu dikemas dalam drum. Dengan demikian, sulit bagi petuas BC untuk bisa mengenali jenis oli yang terkandung di dalamnya. Apalagi drum itu diberi keterangan: Machine Oil Additive. Berarti, itu adalah pelumas untuk mesin lain yang belum diproduksi Pertamina. Sekalipun begitu, petugas BC yang tak boleh memeriksa barang ber-LKP (Laporan Kebenaran Pemeriksaan) masih saja penasaran. Mereka terus mengikuti perjalanan oli impor tersebut, hingga di gudang. Nah, di 10 gudang penimbunan itulah akhirnya ditemukan tak kurang dari 10 merk pelumas impor yang terlarang, dalam berbagai ukuran. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Sampai saat ini pemerintah belum mengumumkan, perusahaan mana yang punya ulah. Untuk sementara, cukuplah kalau dikatakan, kesalahan ada di pundak SGS Bangkok. Menurut Dirjen BC, "Mereka tidak dapat membedakan minyak mesin dengan minyak pelumas." Padahal di Indonesia kedua barang impor itu dikenakan pos tarif yang berbeda.BK, Sri Pudyastuti R., Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini