DI masa-masa mendatang, nama Ben Messakh tampaknya akan selalu dikaitkan dengan listrik. Betapa tidak, Sabtu pekan lalu Fraksi Karya Pembangunan membentuk tim yang akan membahas lebih jauh soal kenaikan tarif PLN, yang membuat orang jondal-jondil itu. Dan Ben-lah ketuanya. Buat Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, ini berarti pekerjaan rumahnya kian menumpuk. Tanpa buang waktu, sepulang dari sidang Komisi Pemantau Harga OPEC di Wina, ia segera mengadakan pertemuan dengan fraksi-fraksi di DPR. Wartawan pun dikumpulkan. Penjelasannya mengenai kenaikan tarif listrik yang 25% itu juga ditayangkan di layar TVRI. Buat PLN, tarif itu memang pilihan terakhir. Dengan kenaikan 25%, mereka berharap tak akan ada defisit lagi. "Paling tidak biaya operasi tak usah disubsidi," kata Ginandjar, tanpa menjelaskan subsidi pemerintah itu sebesar apa. Yang selalu ditekankan cuma ini: biaya operasi diperkirakan akan membengkak terus. Penyebabnya ada pada pos penyusutan, yang semakin besar dan terus menguntit pertambahan investasi perusahaan listrik ini. Sebagai perusahaan yang (berusaha) dianggap sehat, penyusutan ini dimasukkan dalam biaya operasi. "Toh itu kembali ke PLN untuk investasi lagi," kata Ginandjar kepada wartawan TEMPO Bachtiar Abdullah. Pemerintah tampaknya akan berpegang pada beleid ini. Tak seperti BUMN lain yang bisa menghapus penyusutan dari bukunya, PLN dianggap layak untuk tetap mencantumkan pos itu. "Jangan dibandingkan dengan yang lain, PLN ini besar sekali," kata Dirjen Listrik dan Energi Baru, Prof. Dr. A. Arismunandar. Selain itu masih ada sasaran lain. "Kami harus bisa menaikkan peran kantung PLN sendiri dalam investasi," kata Dirut PLN, Ir. Ermansyah Yamin. Di akhir Pelita V, PLN ingin mencapai angka 17% untuk apa yang disebut Self Financing Ratio, alias pendanaan yang diambil dari kocek sendiri. Untuk pengembangan PLN, pemerintah akan menanam Rp 19,678 trilyun dalam lima tahun mendatang. Dari kocek PLN, Yamin akan akan merogoh Rp 3,33 trilyun. Jika ini ditambah dengan penyusutan, tak mungkin PLN bisa menutup biaya itu tanpa bayaran lebih dari pelanggan. Dalam penilaian Ginandjar, sikap ini cukup adil. Berdasarkan perhitungan PLN, dewasa ini cuma 26% rakyat Indonesia yang menikmati listrik. Dengan menanam uang sebesar itu, di akhir tahun 1994 nanti jumlah pemakai listrik bisa didongkrak sampai 43%. "Adil jika penikmat listrik sekarang membiayai pengadaan untuk yang belum," demikian Ginandjar berkilah. Lebih dari itu, dalam perhitungan PLN, biaya itu tak akan dibebankan pada rakyat kecil. Komponen gaji pegawai negeri yang digunakan untuk membayar listrik, misalnya, akan tetap 6% jika ia tergolong pembayar rekening R 1, rumah tangga kecil. Ternyata Ben Messakh, sang ketua tim, segera menangkisnya. "Berapa, sih, jumlah pegawai negeri?" ia mempertanyakan. Selain itu, menurut Ben, beban masyarakat tak cuma bertambah sebesar naiknya tarif. Industri, yang harus menanggung tambahan biaya, pada gilirannya tentu akan menaikkan harga jual produknya. Inilah yang disebut Ben sebagai akumulasi beban kenaikan tarif, yang ujung-ujungnya ditanggung lakyat juga. Beban masyarakat inilah yang jadi isu utama FKP, terutama untuk menangkal argumentasi Yamin dan Ginandjar. Pertambahan investasi yang dilakukan PLN itu, dalam pemikiran mereka, belum cukup layak menambah tanggungan rakyat yang masih harus membayar pajak, yang akhir-akhir ini digenjot pemerintah. Lagipula, masih bisa dipertanyakan, apakah dengan menaikkan tarif persoalan akan selesai. Itu sebabnya, sejak awal FKP selalu mengajukan pilihan agar PLN lebih membenahi ke dalam dulu. Meningkatkan keandalan adalah salah satunya. Jika melihat angka, argumentasi FKP itu bisa jadi benar. Saat ini listrik swasta masih lebih besar ketimbang listrik PLN. Dari 18.775 MW daya terpasang, baru 8.452 MW punya PLN. "Artinya, PLN belum bisa diandalkan," kata Ben. Jika PLN melakukan investasi, dengan sasaran 11.771 MW di akhir Pelita V, belum tentu itu akan melewati kapasitas total milik swasta. Gejala ini diterjemahkan Ben sebagai kegagalan PLN untuk menjual listriknya. "Jika semua orang lebih suka pakai punya sendiri, kepada siapa PLN akan jual," tuturnya. Kelak, tentu akan menekan angka penjualan PLN, hingga duit yang masuk ke kocek PLN ikut tercekik. Belum lagi bicara soal losses sebesar 18%, yang masih dianggap terlalu besar. Menekan losses bukanlah perkara mudah. Untuk menekan 1% losses, yang akan menghemat sekitar Rp 20 milyar uang PLN, dibutuhkan investasi tidak sedikit. "Saya perlu sekitar 4 kali jumlah itu," kata Direktur Pembangunan PLN, Ir. R. Kodiat Samadikun. Perdebatan boleh terus, sementara penyelesaian politis pun diupayakan. Senin pekan ini FKP berapat dengan Wapres Sudharmono, yang menjabat Ketua Koordinator Dewan Pembina Golkar. Ginandjar sudah mengimbau, FKP sikapnya tetap.Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini