KEBIJAKSANAAN pemerintah 25 Maret lalu, sekilas mirip gebrakan Sumarlin Juni 1987. Cuma saja gebrakan Sumarlin yang tersohor itu, merangsang bank-bank pemerintah untuk menaikkan suku bunga deposito. Sebaliknya kebijaksanaan 25 Maret 1989, diharap malah bisa menekan suku bunga. Dalam beleid itu, yang merupakan pelengkap Pakto, bank-bank devisa dibebaskan meminjam dari luar negeri, tapi sekaligus dibatasi untuk membeli dolar, yang maksimal hanya boleh 25% dari modalnya. Jadi, ketujuh bank pemerintah yang memiliki modal Rp 3.359 milyar (sekitar US$ 1.914) pada Desember 1988 hanya boleh membeli dolar sekitar US$ 478 juta. Beberapa bank ternyata memegang dolar lebih dari batas 25% tadi. Mereka terpaksa merupiahkan dolar yang berlebih itu. Ini jelas nampak pada transaksi valuta asing di Bank Sentral selama dua pekan terakhir. Sejak 25 Maret, Bank Indonesia praktis hanya dua kali menjual valas, yakni pada 3 April (US$ 9 juta) dan pada 7 April (US$ 100.000). Sementara itu, valas yang dibeli BI bernilai sekitar US$ 200 juta. Berarti, dalam dua pekan terakhir, tak kurang dari Rp 350 milyar sudah dipompakan BI ke peredaran. Maka, tepat 1 April 1989, hari pertama dimulainya Pelita V, Bank Rakyat Indonesia merintis gerak penurunan suku bunga perbankan. Bunga deposito setahun diturunkan sekitar 1%, menjadi 17,5%. Dan BRI rupanya tak harus menunggu datangnya deposito terkumpul dulu, baru menurunkan suku bunga perkreditan. Hari itu juga suku bunga pinjaman tertinggi di BRI sudah langsung diturunkan, malah hampir 2,5%, yakni dari 24% menjadi 21,6% per tahun. "BRI berusaha keras mendorong pengembangan dunia usaha. Kalau suku bunga pinjaman tetap dipertahankan 24% per tahun, jelas (dunia usaha) tak akan banyak berkembang," kata Dirut BRI Kamardhy Arief, yang ditemui TEMPO di Departemen Keuangan pekan silam. Empat bank pemerintah lainnya (BNI, BEII, BBD, dan BTN) pekan silam juga meniru langkah BRI. Direksi Bapindo baru rapat Senin pekan ini, dan memutuskan penurunan suku bunga mulai Selasa. Usai rapat Senin sore itu, juru bicara Bapindo Julius Suroso menelepon TEMPO, menjelaskan bahwa suku bunga deposito di Bapindo sejak Selasa adalah 16% (untuk deposito sebulan) sampai dengan 17,5% (deposito setahun). Berapa suku bunga pinjaman, tak dijelaskan. "Penurunan suku bunga itu tak lepas dari imbauan pemerintah," kata seorang pimpinan bank pemerintah. Para bankir pemerintah konon bulan lalu dipanggil Menteri Keuangan. Dalam pertemuan itu, Menteri J.B. Sumarlin meminta direksi bank-bank pemerintah agar berupaya menurunkan suku bunga pinjaman, yang dipandang sudah terlampau tinggi. "Bila perlu bank pemerintah merugi untuk menutup biaya bunga, asalkan suku bunga pinjaman bisa ditekan," begitu kata Menteri Sumarlin, sebagaimana dituturkan seorang bankir pemerintah. Perilaku bank-bank pemerintah, yang akhir-akhir ini condong mencari laba, meman sudah dikeluhkan bankir swasta. Tadinya bank-bank pemerintah biasa memutarkan kelebihan dana mereka dalam pinjaman antarbank (call money). Timbulnya kasus bank Pertiwi, yang menyandera dana belasan bank dari pasar call money, membuat bank-bank pemerintah jadi lebih hati-hati. Pilihan utama adalah menempatkan dana nganggurnya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, akhir-akhir ini BI rupanya sengaja mengurangi penjualan SBI, sehingga mereka beralih ke pilihan lain, yakni menanamkan dalam dolar. "Kendati bunga deposito dolar hanya sekitar 10,5%, jika ditambah depresiasi rupiah terhadap dolar sekitar 5%, praktis bank pemerintah mendapat 15,5%. Cukuplah untuk menjual kredit dengan bunga rendah. Konsekuensinya, bank pun ikut bermain menarik dana dengan bunga tinggi, untuk menarik dana lebih besar. Kelebihan pun dipakai buat membeli dolar," tutur Pieter Korompis, Vice President dari Citibank. Citibank, menurut Pieter, akan segera menurunkan suku bunga deposito, tapi tak akan lebih rendah dari 15-19%. Stephen Satyahadi, yang belum setahun menggantikan Priasmoro sebagai Presiden Direktur Bank Perkembangan Asia (BPA), sependapat dengan Pieter. "Penurunan suku bunga deposito itu tak akan mempengaruhi masyarakat penabung kecil. Tapi orang kaya yang banyak uang nganggurnya mungkin akan berubah pikiran dan melarikan modalnya ke dalam deposito dolar," kata bos dari bank milik Prof. Sumitro Djojohadikusumo itu. BPA toh sejak pekan silam telah ikut menurunkan suku bunga deposito sekitar 1%. "Tapi suku bunga pinjaman belum bisa turun. Masih 22% ke atas, sebab kami memang profit-oriented," kata Stephen berterus terang. Ia menduga, jika bank-bank pemerintah sampai kehilangan nasabah, tentu mereka akan menaikkan kembali suku bunganya. Tapi Dirut BRI optimistis, masyarakat tak akan mencabut dananya begitu saja. BRI, menurut Berita Perbanas edisi Maret 1989, menghimpun dana masyarakat paling besar pada tahun silam, yakni Rp 4.931 milyar. "Penurunan suku bunga deposito setahun dari 18,5% menjadi 17,5% tak akan menyebabkan pemilik modal lari ke luar negeri. Bunga deposito rupiah masih cukup tinggi," kata Kamardhy Arief. Presdir Overseas Express Bank, Trenggono Purwosuprodjo, setuju penurunan suku bunga deposito sekarang. Alasannya, likuiditas perbankan kini sangat tinggi. Selain bank-bank kini kelebihan memegang dolar (yang harus dirupiahkan), bank-bank devisa kini bebas meminjam valas. Tapi, menurut dugaan anggota pengurus Perbanas itu, bank-bank swasta belum bisa menurunkan suku bunga kredit perbankan seperti yang telah dilakukan BRI. Alasan Trenggono, "bank-bank belum memperoleh laba dari operasi kredit pada 1988." Pada perhitungannya, lima dari bank devisa milik pemerintah masih rugi Rp 61 milyar (pendapat bunga + provisi/komisi dikurangi biaya bunga + biaya operasional). Sedangkan hasil operasional dari 12 bank devisa swasta tercatat rugi Rp 13 milyar. Laba mereka hanya karena pendapatan devisa dan rupa-rupa usaha lain. Suku bunga pinjaman yang ditawarkan BRI dan BII jelas masih sangat tinggi bagi investor. Masih lebih murah misalnya, dengan menjual obligasi atau sekuritas di bursa efek, dengan bunga sekitar 19% per tahun. Meski suku bunga masih tinggi, toh Sumarlin cukup menghargai bank-bank yang telah menurunkan suku bunga. "Pemerintah tak bisa memaksa," katanya. Agaknya, ada kekhawatiran investasl swasta sebesar Rp 131,6 triliun, yang diharapkan pemerintah dalam Pelita V, tak akan tercapai jika suku bunga perbankan tak diturunkan. Bukankah selama ini hampir 100% dana investasi pengusaha sebenarnya dibiayai bank-bank.Max Wangkar, Budiono Darsono, Liston P. Siregar, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini