Sebutan segi tiga emas sudah tak pantas lagi disandang kawasan Jalan Sudirman-Gatot Subroto-Kuningan, Jakarta. Gedung-gedung jangkung di kawasan itu kini tidak lagi menghasilkan keuntungan yang besar. Malahan, sebaliknya, menggerogoti kantong pemiliknya, menjadi kuburan bagi pengusaha yang yang terjerat utang ratusan miliar rupiah. Mereka bahkan harus merelakan gedung-gedungnya diambil alih kreditur, baik asing maupun lokal. Mau tahu raja properti Indonesia? Siapa lagi kalau bukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BPPN kini menguasai gedung perkantoran dan apartemen seperti Kota Anggana (milik Danamon, Sudirman), Kota Bentala (Danamon, Kuningan), Kota Casablanca (Danamon, Kuningan), dan Wisma BCA (Salim, Sudirman). Selain itu, puluhan gedung milik raja properti awal 1990-an seperti Grup Dharmala, Putra Surya Perkasa, Duta Anggada, dan Bakrie Investindo juga sudah tak lagi dalam genggaman mereka. Total jenderal, 80 persen gedung di kawasan segi tiga emas itu sudah berada di tangan BPPN.
Sebagian besar gedung itu dikuasai BPPN karena macetnya utang developer ke bank-bank pemerintah. Data BPPN akhir November lalu menyebutkan, utang yang mandek di bisnis properti mencapai Rp 43 triliun dari total utang macet bank BUMN yang besarnya Rp 111 triliun. Sebagian lagi dikuasai BPPN karena gedung itu dibangun dengan menggunakan dana bank swasta yang juga milik para developer itu. Celakanya, jumlahnya melewati batas maksimum pemberian kredit (BMPK) di bank-bank itu. Nah, ketika banknya kolaps, pemerintah harus menambalnya. Sebagai imbalan, para pemilik bank swasta itu harus menyerahkan asetnya ke pemerintah. Nilainya Rp 25 triliun.
Sialnya, BPPN tak bisa langsung menjualnya. Banyak soal yang mesti diselesaikan. Yang paling berat adalah merestrukturisasi utang macet tadi. Tanpa itu, tak akan ada perusahaan yang mau membeli gedung-gedung tersebut karena utangnya kelewat besar, yang mengakibatkan harga bangunan melambung tinggi. Sebut saja utang Grup Mulia dan PSP yang sampai Rp 1 triliun atau Duta Anggada Realty yang berutang Rp 1,6 triliun. Hingga kini, belum satu pun utang itu direstrukturisasi. Bekas Ketua Real Estate Indonesia (REI), Enggartiasto Lukito, pun mencak-mencak. Maklumlah, tanpa restrukturisasi, developer tak bisa berbuat apa-apa.
BPPN sendiri mengatakan, memang tidak mudah merestrukturisasi utang developer. ''Setiap perusahaan punya problem tersendiri," kata Ketua BPPN, Glenn M.S. Yusuf. Dia menambahkan, lambannya BPPN merestrukturisasi itu karena berkas kredit macet baru diserahkan ke BPPN pada Juni lalu. Seharusnya, BPPN mencari jalan keluar terbaik. Sebab, menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, makin lama proses restrukturisasi itu, aset properti itu akan makin busuk dan sulit dijual. Bisa-bisa, nilai buku aset properti yang kini Rp 68 triliun itu anjlok hingga tak sampai separuhnya.
Padahal, BPPN bisa saja menjual aset properti tanpa harus menunggu seluruh proses restrukturisasinya selesai. Sebab, aset properti yang berasal dari pemilik bank tidak terkait dengan kredit macet. ''Kini saatnya menjual. Dengan diskon 30-40 persen, banyak gedung perkantoran di segi tiga emas Jakarta dan hotel di Bali yang akan laku," kata Panangian. Dengan situasi perekonomian yang mulai pulih, kantor-kantor kelas satu yang dulu sempat ditinggalkan kini mulai dilirik kembali. Investor asing juga sudah mulai percaya kepada pemerintahan baru.
Hanya, memang ada banyak kendala yang menghambat penjualan aset properti, terutama kepada investor asing. Menurut Panangian, ketentuan Peraturan Pemerintah No. 41/1996 yang membolehkan asing membeli properti lokal masih banyak ranjaunya. Misalnya, soal keharusan perusahaan itu berstatus penanaman modal asing dan jangka waktu hak guna bangunan (HGB) yang pendek. Malaysia dan Thailand sudah mengubahnya menjadi 90 tahun, sementara Indonesia masih bertahan di 30 tahun. ''Singapura itu bisa jual properti ke asing karena jangka waktu HGB-nya 90 tahun," kata Goei Siauw Hong, Kepala Riset Nomura Indonesia. Glenn juga pernah melontarkan permintaan yang sama.
Menteri Negara Investasi dan BUMN Laksamana Sukardi sendiri tak keberatan dengan usul itu. ''Kalau memang perlu diubah, ya, diubah. Tapi, jangan drastis," katanya kepada Leanika Tanjung dari TEMPO. Namun, mental birokrat juga harus diperbaiki. ''Masa, mengurus izin penanaman modal asing sampai berbulan-bulan. Di Malaysia, satu bulan sudah kelar," kata Panangian. Ini memang penyakit lama kantor pemerintah. Akan sangat celaka jika lembaga baru seperti BPPN juga terjangkit penyakit yang sama. Salah-salah kelak tak akan ada aset yang bisa dijual dengan harga layak: emas harus dijual dengan harga loyang.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini