Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dunia Spiritual Oguri

Karya sutradara Jepang Kohei Oguri diputar dalam Jakarta International Film Festival. Christine Hakim tampil prima.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE SLEEPING MAN (NEMURU OTOKO)
Sutradara:Kohei Oguri
Skenario:Kohei Oguri dan Kiyoshi Kenmochi
Pemain:Christine Hakim, A.H.N. Sung-Ki, Kamimura Koji Yakushi
Produksi:Space Co, Tokyo
Di sebuah rumah di Desa Hitosuji, lelaki itu telah "tidur" entah untuk berapa lama. Ia seakan mati suri, tetapi toh masih sanggup menelan sup yang disuapkan sang ibu. Takuji (A.H.N. Sung-Ki), "lelaki tidur" itu, sesungguhnya pria yang hidup dan punya spirit yang menggelegak. Paling tidak, itulah sosok yang dikenal Kamimura (Koji Yakusho), yang sengaja datang ke desa itu untuk sebuah kenangan.

Tetapi, sebuah kecelakaan di gunung telah meruntuhkan daya hidupnya. Takuji tertidur, tak pernah bangun, bahkan ketika seekor lalat mendengung dengan ribut di mulutnya yang menganga.

Saat musim dingin yang menggigit, Tia (Christine Hakim), seorang penyanyi bar dari selatan, datang dan mendengar kisah sang lelaki yang tidur. Hingga musim berganti, Takuji tak kunjung bangun, dan bahkan akhirnya rohnya meninggalkan raga. Suatu hal yang menyentuh. Seluruh keluarga panik dan memukul benda apa saja dengan harapan agar roh yang hampir lepas itu kembali lagi ke "rumahnya".

Film yang lebih menekankan visualisasi, dan dengan dialog yang minim, ini tentu memerlukan sikap dan mata yang "siap" dan terlatih, terutama untuk penonton Indonesia, yang lebih mengenal formula Hollywood. Tetapi, film yang, toh, telah dibanjiri penonton Jepang selama enam bulan berturut-turut itu mempunyai suatu daya tarik yang lain. Dengan gerak kamera yang perlahan, membiarkan cahaya jatuh melalui pintu yang terbuka—untuk mengungkap pergantian waktu—Oguri bertutur melalui gambar, tanpa teks, tanpa musik, dan tanpa jeritan apa pun.

Kesedihan, kematian, hati yang tersayat dan luka sepanjang hidup pantang digambarkan dengan air mata dan keluhan apa pun. Adegan Tia memandang laut melalui jendela pun adalah sebuah kepedihan yang sublim, yang menjadi sangat puitis sekaligus pedih. Pada adegan yang dianggap penting ini, menurut Oguri, tak boleh ada penonjolan emosi apa pun. Dengan demikian, justru kepedihan itu akan lebih tampak.

Film sepanjang 103 menit ini diakhiri dengan adegan pertunjukan noh, kesenian tradisional Jepang, yang kemudian mempertemukan Tia dan Kamimura di sebuah gubuk.

The Sleeping Man memang bukan suatu karya yang naratif. Karya-karya Oguri terdahulu—yang juga diputar di dalam rangkaian Jakarta International Film Festival, pekan lalu—seperti Muddy River (Doro-No Kawa, 1981), For Kayako (Kayako No Tameni, 1984), dan Sting of Death (Shi No Toge, 1990), yang hampir semuanya mendapat berbagai penghargaan internasional itu, memang film-film yang kontemplatif.

"Film adalah ekspresi," tutur Oguri kepada TEMPO di Jakarta. Lazimnya, menurut Oguri, adegan ombak laut memperlihatkan gambar ujung ombak yang bergulung untuk memperlihatkan besarnya ombak itu. Oguri memilih untuk merekam adegan ujung atas dan ujung bawah ombak dan sekaligus memperlihatkan juga ombak yang berputar itu. Bagi Oguri, ia merasa, penting untuk merekam pergolakan dan hubungan hangatnya alam dan hangatnya manusia.

Christine Hakim, sebagai wanita bar dari selatan, kali ini muncul sebagai sebuah sosok yang sublim. Aktris Indonesia yang digambarkan Oguri sebagai "aktris yang memiliki otak dan hati" itu menggunakan daya peran dari dalam tubuhnya sehingga saat kamera merekam adegan-adegan long shot, sosok Tia tetap muncul sebagai pribadi yang unik. Dia tak banyak bicara, tetapi mimik muka, suara nyanyiannya, dan sorot matanya berkata-kata banyak.

The Sleeping Man adalah sebuah pemahaman terhadap manusia dan hubungannya dengan alam. Hidup, mati, dan "tidur" hanya dibedakan oleh lintasan waktu. Setelah hiruk-pikuk sehari-hari, Oguri telah berhasil "menculik" penonton Indonesia bertamasya ke sebuah perenungan dan spiritualitas.

Leila S.Chudori dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus