Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Wog

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia seorang Arab dengan nama pangeran Inggris: Edward. Agamanya Kristen Anglikan, setidaknya menurut garis nenek moyang. Memang agak ganjil, karena pada umumnya Nasrani di Palestina selama berabad-abad adalah Kristen Ortodoks. Tapi, dalam banyak hal, keluarga Said memang luar biasa.

Si kakek adalah seorang pengusaha Arab yang kaya di Yerusalem. Ketika Kaisar Jerman berkunjung ke Tanah Suci itu, dialah yang menemani tamu yang agung itu berkeliling. Si ayah, yang hidup di ibu kota Mesir sebagai importir besar peralatan kantor—dan punya cabang usaha hampir di tiap kota penting sejak dari Kairo sampai Beirut—adalah seorang warga negara Amerika. Sewaktu muda, ia bahkan ikut bertempur untuk The Star Spangled Banner dalam Perang Dunia Pertama. Si ibu seorang anggota Gereja Baptis dari Nazareth. Ibu inilah yang membacakan teks Hamlet keras-keras buat Edward ketika ia masih berumur sembilan tahun—seakan-akan mereka berdua berada di sebuah paggung Shakespeare, dan Edward menjadi Hamlet.

Dengan sejarah seperti itu, tak mengherankan bila Edward Said adalah cerita keluarbiasaan. Di Indonesia, sebagaimana di bagian dunia lain, kalangan akademi dan cendekiawan mengenalnya sebagai pengarang sebuah buku yang tajam dan cemerlang, Orientalism. Di sini Said tak sekadar mengungkapkan cacat-cacat dasar telaah para orientalis tentang "dunia Islam". Ia juga mengembangkan teori Foucault tentang pengetahuan dan kekuasaan—dan dengan itu pengaruhnya meluas ke mana-mana.

Tapi profil Said tak hanya terpampang di perpustakaan. Kita mengenalnya juga sebagai seorang yang dengan memukau berbicara untuk kemerdekaan Palestina. Ia seorang anggota terkemuka PLO, yang suatu saat pernah jadi penulis pidato Yasser Arafat—meskipun ia kini mengecam pemimpinnya karena bersedia menandatangani naskah perdamaian dengan Israel di Oslo.

Seorang Arab dengan nama pangeran Inggris. Seorang teoretikus tenar dan guru besar terkemuka dari Universitas Columbia, New York, yang juga aktivis politik Palestina. Seorang Amerika yang tak menyetujui perjanjian Oslo tetapi pada saat yang sama menganggap aksi teror PLO sebagai sebuah kesalahan. Ada selalu yang luar biasa dalam dirinya. Akan herankah kita bila Edward Said memberi judul otobiografinya yang baru terbit Out of Place?

Kata out of place dalam bahasa Indonesia bisa disebut "salah tempat" atau "geseh" (ge seperti dalam geger dan seh dalam kata sehat). Edward Said ingat ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia tidak bisa punya "latar belakang yang sederhana". Ia pernah ingin sekali menjadi "Amerika sepenuhnya", atau "Arab sepenuhnya". Tetapi nasibnya tidak untuk itu. Ia tak bisa memilih selain hidup dalam keluarbiasaan—yang bisa juga berarti kegesehan. Ia selamanya harus menghadapi "tangguhnya pertanyaan yang datang tiap hari", pertanyaan yang membawanya kembali ke "kata-kata yang seakan-akan tak cukup mempunyai asal-usul".

Tapi apa arti "asal-usul", sebenarnya?

Dalam kamus Edward Said, soalnya memang kompleks. Setahun setelah ia lahir di Yerusalem pada 1935, ketika wilayah itu masih merupakan daerah pengampuan (mandat) Inggris, orang tuanya pindah ke Mesir. Di Kairo keluarga itu tinggal di kawasan Zamalek, sebuah enklave kelas atas yang dihiasi kebun—sementara bagian kota yang lain, yang lebih luas, ribuan bangunan berjibun tanpa pohon. Para tetangga mereka orang Eropa, yang hidup dalam keadaan "setengah khayali, nyaman namun rentan". Di Mesir, itu sama halnya dengan kondisi "pinggiran".

Edward sendiri tak beranjak dari marginalitas itu. Di Kairo ia bersekolah di Victoria College, sebuah sekolah yang muridnya dihukum bila ketahuan tidak menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan. Di sekolah yang sering disebut sebagai "Eton-nya Mesir" ini mereka dipersiapkan menjadi pribumi yang oleh birokrat di kantor urusan kolonial dicemooh sebagai wog, singkatan dari "Westernized oriental gentlemen".

Tapi di sini pun Edward salah tempat. Ia merasa identitas dalam dirinya saling bentrok: di satu pihak ia lahir dan dibaptis sebagai Anglikan—sebagai layaknya elite Inggris—tapi di lain pihak ia tetap seorang wog. Menurut definisinya, seorang wog bukan lagi 100 persen inlander tapi juga belum dan mustahil jadi 100 persen orang "Barat".

Edward menjadi resah dan memberontak. Akhirnya ia dikeluarkan. Ayahnya memindahkannya jauh ke Amerika. Edward Said menjadi satu-satunya murid "non-Amerika" di Mount Hermon, di Massachussetts. Meskipun ia, seperti ayahnya, berpaspor "USA", di sini ia merasa dibuang. Di sini ia juga tak menemukan rumahnya.

Tak jelas akankah ia menemukan sebuah rumah kelak. Said menuliskan Out of Place sebagai sebuah memoar seraya ia tahu hidupnya tak akan lebih lama lagi. Barangkali selalu harus ada orang-orang yang tak selesai dengan makna asal-usul, tak selesai dalam menemukan "rumah". Menjadi geseh memberi posisi untuk selalu melihat dari luar. Seperti dalam cerita Adam dan Hawa, menjadi merdeka sama artinya dengan dibuang, lepas dari sesuatu yang tampaknya jelas, rampung, dan tinggal diterima.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus