Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengayuh di Antara Dua Dewan

Abdurrahman Wahid bakal memiliki dua dewan penasihat ekonomi dalam menjalankan tugasnya. Apakah ini bentuk lain sikap akomodatif Gus Dur?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Abdurrahman Wahid rupanya tak hanya puas dengan memiliki Kabinet Persatuan Nasional. Buktinya, ia juga membentuk dewan-dewan lain untuk menyatukan para ekonom nasional. Setidaknya, itulah yang tercermin pada peresmian Dewan Ekonomi Nasional (DEN), akhir pekan lalu. Sebagai ketua dewan yang dilantik di Wisma Negara ini adalah Emil Salim, ekonom lulusan University of California, Berkeley, Amerika Serikat, yang juga merupakan salah satu arsitek ekonomi Orde Baru yang dikenal alergi dengan kebijakan intervensi pasar. Wakil ketuanya adalah Soebiakto Tjakrawerdaya, yang justru sering dituding sebagai penggemar jurus intervensi ketika menjadi Menteri Koperasi pada era Orde Baru. Selain itu, ekonom muda dari Universitas Indonesia yang dikenal kritis terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru, Sri Mulyani, duduk sebagai Sekretaris DEN. Juga barisan yang beragam seperti Boediono, Bambang Subianto, Kuntoro Mangkusubroto, Moh. Arsjad Anwar, Hadi Susastro, H.S. Dillon, Anggito Abimanyu, Gunarni Soeworo, Hasan Zein Machmud, dan Theodore Permadi Rachmat diangkat sebagai anggota. Menilik nama-nama ini, tampak Gus Dur tak hanya memberikan porsi kepada ekonom, tetapi juga tokoh birokrat dan para praktisi bisnis. Gunarni, misalnya, adalah mantan Presiden Direktur Bank Niaga yang kini menjabat sebagai Ketua Perbanas. Begitu pula Hasan Zein, yang dikenal sebagai mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, atau Rachmat, yang lebih kondang sebagai bekas Presiden Direktur Astra. Adapun Kuntoro, Bambang Subianto, dan Boediono adalah bekas menteri atau pejabat tinggi yang dianggap paham seluk-beluk bidang pekerjaannya. Keragaman DEN ini pun rupanya dianggap belum cukup oleh Gus Dur, yang dikabarkan juga akan membentuk Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN). Hingga kini, rumusan akhir nama resmi dewan ini beserta komposisi para pengurusnya memang masih samar-samar. Namun, sumber TEMPO membisikkan nama dua kandidat ketua DPUN yang santer beredar di kalangan pengusaha Ibu Kota: Sofjan Wanandi, bos kelompok usaha Gemala, dan pengusaha Sugeng Saryadi. Sementara itu, Gus Dur sendiri dalam acara pelantikan DEN mengisyaratkan keinginannya untuk menempatkan seorang ekonom sebagai pemegang kendali DPUN. Di luar ketiga kandidat itu, sederet pengusaha nasional seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Santi Soedarpo, Alim Markus, Hariyadi Sukamdani, dan Anton Supit kabarnya juga turut memperkuat barisan pendamping Gus Dur ini. Sementara itu, Yusuf Faishal, ekonom Partai Kebangkitan Bangsa yang tempo hari ramai disebut sebagai Sekretaris DEN, santer terdengar memperoleh kursi serupa di dalam DPUN. Komposisi anggota DPUN ini, menurut ekonom Bank Mandiri, Martin Panggabean, mencerminkan semangat kompromi dan akomodatif Gus Dur. Barangkali hal ini terpulang pada ikhtiar Gus Dur untuk mencairkan kebekuan hubungan antara para pengusaha Cina keturunan dan pengusaha pribumi yang tergabung dalam Kadin (Kamar Dagang dan Industri). Boleh jadi Gus Dur percaya para pengusaha keturunan ini dapat menarik investasi dari pengusaha Cina perantauan ke Indonesia. Sikap ini tersirat dalam kunjungannya ke Beijing, pekan lalu. Kepala Negara RI ini telah menegaskan sikap pemerintah yang nondiskriminatif terhadap para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Persoalannya kemudian, bagaimana Gus Dur akan mendayagunakan kedua dewan ini? Maklum, DEN ataupun DPUN notabene adalah dewan penasihat untuk kepala negara. DEN, menurut Emil, memberikan masukan berupa hasil pengkajian dan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah. ''Dalam waktu dekat, kami akan ketemu Kwik Kian Gie," ujar Emil sembari menyebut nama Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri itu. Sedangkan DPUN bertugas memberikan saran berupa terobosan untuk mendongkrak kemampuan para pengusaha dalam membangun perekonomian nasional. Artinya, DPUN lebih banyak bergerak pada sisi ekonomi mikro dan DEN pada ekonomi makro. Dikotomi peran ini sempat dikritik oleh Emil karena pada dasarnya susah membedakan perekonomian nasional dalam dua kategori tersebut. Mantan menteri Orde Baru ini lantas mencontohkan penentuan harga beras, yang melibatkan banyak pertimbangan ekonomi makro dan mikro. Lebih jauh, Emil mengingatkan agar DEN ataupun DPUN tidak melakukan intervensi ke dunia usaha atau kabinet. Maksudnya, apa pun nasihat yang diberikan kedua dewan ini, biar presiden yang mengambil keputusan. Agaknya Gus Dur setuju saja dengan nasihat ini. Soalnya, apa pun keputusan DEN ataupun DPUN akan dianggap telah teruji menghasilkan konsensus dari para pakar dan praktisi yang sangat kritis dan beragam pandangannya itu. Atau, siapa tahu, pembentukan kedua dewan ini memang merupakan akal bulus si Gus untuk mengandangi para ekonom kritis sekaligus memanfaatkan kepiawaian mereka bagi kepentingannya? Widjajanto, Dewi Rina Cahyani, Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Prabandari, Iwan Setiawan (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus