POCONG yang bergelayutan dan hantu Pondok Indah rupanya telah menaklukkan Akbar Tandjung, yang masih dililit skandal Bulog, atau Jaksa Agung M.A. Rachman, yang dipergoki tak melaporkan rumah mewahnya di Cinere. Tak percaya? Tengoklah Indeks Media 2002 yang baru dilansir dua pekan lalu. Survei menyatakan, majalah yang paling banyak dibaca tahun ini adalah Zona Misteri.
Misteri, majalah dengan moto "menyingkap tabir gelap dunia mistis", didudukkan di peringkat pertama oleh riset tingkat keterbacaan (readership, bukan tiras) yang digelar ACNielsen Indonesia. Tahun ini, kata Direktur Komunikasi ACNielsen Yanti Nisro, penelitian yang kerap dijadikan barometer media ini berlangsung Juni-Agustus lalu. Sampelnya ada 2.848 orang dengan jangkauan populasi 19,7 juta orang di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), dan enam kota besar lain: Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, dan Makassar. Dan hasilnya: di kalangan pembaca berusia 10 tahun ke atas yang tinggal di Jabotabek (kawasan terpenting peredaran media), Misteri ternyata dibaca tak kurang dari 879 ribu orang.
Sudah dua tahun ini Misteri merajai indeks. Tahun lalu, majalah ini juga berada di puncak dengan 685 ribu pembaca. Padahal, di indeks tahun 2000, majalah ini masih di urutan ke-8 dengan 70 ribu pembaca saja.
Selain dari Misteri, kejutan datang dari Sabili. Majalah Islam yang dipandang berhaluan keras ini berada di tangga ketiga dengan jumlah pembaca 476 ribu. Tahun sebelumnya, Sabili masih di urutan ke-10 dengan 257 ribu pembaca, setengah angka tahun ini. Selebihnya gejala lama. Majalah wanita dan remaja masih mendominasi. Kalaupun ada majalah berita yang masuk 10 besar, cuma mingguan ini. Itu pun sebagai juru kunci (lihat tabel).
Diilhami sebuah majalah serupa yang secara tak sengaja dilihatnya di pasar Newton, Singapura, Misteri, kisah Ibrahim Sinik, pendiri dan pemimpin umumnya, terbit pertama kali 20 tahun silam di Medan. Tirasnya ketika itu baru 4000-5.000. Peminatnya pun tak banyak, bahkan setelah ia memindahkan kantor ke Jakarta pada awal 1980-an.
Tapi gonjang-ganjing zaman reformasi tak dinyana membawa berkah. Setelah Soeharto jatuh, entah kenapa, Misteri laku keras, sampai sekarang. Terbit dua kali sebulan dan dijual dengan banderol Rp 7.400, oplahnya kini mencapai 80 ribuan eksemplar. Pengamatan TEMPO di sejumlah lapak menunjukkan Misteri memang lumayan laris. "Tiap nomor rata-rata laku 30-35 biji," kata Ali Nasir, pemilik lapak di depan Pasar Mayestik, Jakarta.
Pembacanya pun tak cuma sopir metromini.Misteri juga punya banyak penggemar di kalangan menengah ke atas. Hal ini dibenarkan Bagus Pribadi, Manajer Senior ACNielsen. Riset menunjukkan, di kelas pembaca A1 (berpenghasilan Rp 2 juta ke atas), Misteri berada di urutan keenam, dan nomor satu untuk kelas B (pendapatan Rp 1 juta-Rp 1,5 juta). "Saya sendiri berlangganan," kata Bagus terus terang.
Bahkan, kata Ibrahim, "Terus terang, Pak Harto pun merupakan salah satu pembaca setia Misteri. Pernah pengawal Cendana datang ke Medan untuk mencari tiga nomor koleksi Pak Harto yang hilang." Selain Soeharto, disebut juga oleh Ibrahim nama seorang presiden lain yang dikenal gandrung dunia gaib.
Lantas gejala apa ini? Menurut pengamat media Veven S. Wardhana, Misteri disukai justru karena menyajikan dongeng yang jauh dari alam nyata. Publik rupanya sudah kelewat lelah menghadapi realitas sehari-hari yang tak kunjung beres. "Membaca berita politik dan ekonomi yang terus kisruh cuma membuat mereka makin capek," Veven menambahkan. Hal serupa tampak pada mewabahnya program televisi semacam Kisah Misteri atau Pocong, yang juga meraih rating tinggi.
Boleh jadi, kata Veven lagi, eskapisme di era Soeharto tengah berulang: ketika banyak orang jengkel dengan sistem politik yang serba menjepit, buku semacam Mati Ketawa Cara Rusia tiba-tiba jadi laris.
Karaniya D., Ardi Bramantyo, Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini