Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASYARAKAT Riau mungkin akan kecewa. Panitia kerja DPR yang sedang menyelesaikan amendemen Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah hampir pasti akan menolak permintaan Riau dan Kalimantan Timur, agar pemerintah menaikkan bagi hasil minyak dan gas untuk kedua provinsi ini.
Sinyal kuat sudah dikirim Ketua Komisi Keuangan DPR RI, Emir Moeis. "Kami sulit memenuhi usul perubahan bagi hasil migas," kata anggota parlemen dari PDI Perjuangan itu. Selasa pekan ini, kemungkinan besar panitia kerja amendemen UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah akan menyelesaikan pekerjaannya.
Jika sinyalemen Emir benar, berarti skema bagi hasil yang akan diterapkan setelah amendemen tetap seperti undang-undang sebelumnya, yakni 15 persen untuk daerah penghasil minyak, 85 persen disetor ke pusat. Sebelumnya, Riau mengusulkan jatah mereka dari dana bagi hasil minyak dan gas dinaikkan menjadi 40 persen.
Berbarengan dengan Riau, Kalimantan Timur meminta kenaikan menjadi 25 persen untuk minyak dan 40 persen untuk gas. Angka ini masih di bawah jatah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Dua provinsi yang mendapat status otonomi khusus ini mendapat pembagian 70 persen.
Tahun lalu, Riau menerima dana bagi hasil migas Rp 2,95 triliun, Kalimantan Timur Rp 3,1 triliun. Jika dinaikkan hampir tiga kali lipat, Riau bisa mendapat tambahan sekitar Rp 5 triliun per tahun. Menurut Gubernur Riau, Rusli Zainal, adalah angka kemiskinan yang tinggi dan melek huruf yang rendah, serta pembangunan infrastruktur yang tersendat, yang mendorong Riau mengajukan revisi skema bagi hasil itu.
"Riau berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura," kata Rusli. "Masa, mau mempertontonkan kemiskinan kita?" Nah, tambahan dana itulah yang akan dipakai memperbaiki ketertinggalan Riau. "Untuk bisa mengejar kemajuan provinsi lain, Riau membutuhkan dana Rp 150 triliun sampai tahun 2020," kata Al-Azhar, budayawan Riau.
Kebutuhan dana sebesar itu hanya bisa dipenuhi jika jatah bagi hasil Riau dinaikkan. Lebih dari itu, cadangan minyak Riau yang kian tipis menyebabkan peluang meningkatkan kesejahteraan rakyat Riau makin terbatas. Diperkirakan, cadangan minyak Riau akan habis dalam tempo 20 tahun lagi.
Tambahan pula, dalam beberapa kontrak minyak dan gas terbaru, pemerintah justru memberikan persentase bagi hasil lebih besar kepada kontraktor. "Masa, kami yang menghasilkan migas tetap miskin," kata Rusli. Sekjen Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas Rahman Hadi menilai permintaan Riau wajar. "Terutama karena cadangan minyak di Riau hampir habis," katanya.
Sayangnya, perubahan skema ini tak sederhana. Kalau jatah daerah penghasil migas dinaikkan, kata Emir Moeis, "Dananya mau diambil dari mana?" Ia menghitung, untuk dana alokasi umum dan khusus saja pemerintah harus mendistribusikan Rp 169 triliun kepada daerah pada tahun anggaran lalu. Bila permintaan dua daerah itu dipenuhi, pemerintah harus menempuh jalan sulit karena otomatis akan mengurangi jatah daerah lain.
Menurut Emir, alasan lain ialah belum adanya lembaga auditor independen di setiap daerah, sehingga dana yang besar itu rawan penyelewengan. Jadi, hampir pasti rekomendasi panitia kerja DPR tidak akan memenuhi permintaan daerah. Dan sejauh ini, pembahasan RUU APBN 2005 masih menggunakan skema lama. Tetapi Emir tidak menutup semua jalan amendemen. Kenaikan bagi hasil untuk daerah, katanya, bisa saja dikabulkan bila penerimaan pemerintah naik, misalnya dari pajak. Kepala Badan Pengkajian Ekonomi dan Kerja Sama Internasional, Anggito Abimanyu, menambahkan bahwa perubahan bagi hasil pasti akan mempengaruhi komposisi dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Artinya, pemerintah dapat saja mengurangi tekanan terhadap anggaran dengan cara mengurangi kedua jenis dana alokasi itu untuk mengimbangi tuntutan memperbesar bagi hasil migas. Tapi ini pun tak menjamin Riau bakal mendapat tambahan dana, karena bisa saja pemerintah akan mengurangi dana alokasi umum untuk Riau. Kendati demikian, pintu memang belum tertutup benar.
Repotnya, belum lagi perubahan skema bagi hasil diputuskan, sejumlah pemerintah kabupaten sudah lebih dulu bersiasat mengail tambahan penghasilan dari kontraktor migas. Di Gresik, misalnya. Salah satu kabupaten penghasil migas di Provinsi Jawa Timur ini sudah menerbitkan peraturan daerah yang menyatakan daerah berhak mendapat persentase dari biaya operasi.
Di Riau, PT Caltex Pacific Indonesia harus membayar pajak bumi dan bangunan untuk lokasi ladang minyak atau tanah yang mereka tancapi tiang-tiang listrik. Padahal beberapa tahun lalu kewajiban pajak itu tidak ada. Seorang juru bicara perusahaan kontraktor minyak asing mengaku cemas akan permintaan kedua daerah itu.
Pemerintah baru saja memutuskan, barang-barang kontraktor yang masuk Indonesia langsung dikenai pajak bahkan sebelum dipakai untuk eksplorasi. Bila tuntutan bagi hasil itu tak dipenuhi, daerah bisa saja menciptakan berbagai pungutan baru. Akibatnya, beban operasi akan meningkat dan sebaliknya pendapatan akan turun, sehingga investasi migas di Indonesia tak menarik lagi.
I G.G. Maha Adi, M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo