Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seratus Hari yang Panjang

Pemerintah mendatang dituntut melakukan debirokrasi dan peninjauan undang-undang tenaga kerja dalam seratus hari pertama. Tak sempat berleha-leha.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Seratus Hari yang Panjang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEJAK matahari bangkit, seakan tak putus orang berduyun ke Gelanggang Olah Raga Bekasi, Rabu pekan lalu. Hampir 1.500 orang berkumpul di gedung yang terletak di belahan barat Kota Bekasi itu. Mereka tak hanya rela datang pagi untuk mengantre, tapi juga merogoh kocek Rp 15 ribu untuk membeli formulir.

PT Ganto Ayuditama, yang menyelenggarakan bursa tenaga kerja, mensyaratkan para pencari kerja membeli formulir sebelum mengunjungi bursa. Ganto berjanji menampilkan 42 perusahaan yang membuka lowongan kerja. Tapi mimpi para pencari kerja itu hanya bertahan dalam bilangan jam. Menjelang tengah hari, bursa disetop paksa pemerintah Kota Bekasi.

Penyelenggara, kata wakil Pemerintahan Kota Bekasi, tak mengantongi izin Wali Kota Bekasi, Achmad Zurfaich. Panitia diultimatum mengundurkan acara, hingga setelah pemilihan presiden. Hujan umpatan pun menggema dari mulut para pencari kerja. Rizal, 22 tahun, mengaku sangat berharap dapat menemukan pekerjaan di bursa itu. Alih-alih dapat pekerjaan, penduduk Cakung, Jakarta Timur, itu malah kehilangan uang pendaftaran.

Darwin Sembiring, ketua panitia penyelenggara bursa, membantah pihaknya hanya ingin mengeduk untung dari para pencari kerja. Ia berjanji mengembalikan uang para pencari kerja jika penyelenggaraan bursa itu gagal. Pemerintah Kota Bekasi punya alasan sendiri. Bursa, yang mengundang keramaian itu, dianggap tak pas berdekatan dengan pemilihan presiden.

Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi menyarankan acara itu diselenggarakan pada Senin pekan ini. "Kita menunda karena alasan keamanan," kata Achmad Zurfaich. Ia juga menilai acara bursa itu terlalu komersial. Alasan sang Wali Kota sebenarnya tak terlalu keliru. Dalam dua tahun terakhir, bursa kerja kerap di-warnai kisruh, tak ubahnya pertandingan sepak bola atau pertunjukan musik rock.

Tengoklah acara yang diselenggarakan Kantor Dinas Tenaga Kerja Bekasi, akhir Februari tahun ini. Acara yang bertujuan menyalurkan karyawan baru ke PT Epson Indonesia itu malah berbuntut terinjak-injaknya belasan pencari kerja. Korban, yang sebagian besar wanita, pingsan setelah sedikitnya seribu pencari kerja berdesakan di depan Gedung Dinas Tenaga Kerja Bekasi. Padahal Epson hanya menyediakan 700 lowongan.

Sebulan sebelum itu, bursa kerja di Jakarta juga dinodai saling dorong para pencari kerja. Acara bertajuk Indo Karir Expo 2004, yang dibuka Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, kewalahan menampung ribuan pencari kerja yang datang ke Gedung Tenis Senayan. Menawarkan 3.000 lowongan, antrean yang terbentuk sejak pukul 5 pagi berubah menjadi ajang saling dorong.

Sedikitnya empat pengunjung pingsan. Semangat pantang menyerah para pencari kerja juga merontokkan kaca pintu masuk. Peristiwa serupa juga pernah terjadi setahun lalu dalam bursa kerja di Kartika Chandra, Jakarta. Semakin tak sabarnya para pengunjung bursa kerja menjadi bukti kasat mata betapa pekerjaan menjadi barang yang makin langka di negeri ini.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan lapangan kerja terengah-engah mengikuti laju pertambahan angkatan kerja baru (lihat tabel). Inilah salah satu pekerjaan rumah terberat pemerintahan mendatang, yang bisa dipastikan akan dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pengangguran memiliki buntut yang panjang, seperti kemiskinan, penurunan daya beli, serta gejolak sosial dan keamanan.

Joyo Winoto, pemimpin Brighten Institute?salah satu tim pemikir di belakang SBY?menyatakan akan menggenjot investasi untuk menggerus pengangguran. Joyo menargetkan pengangguran turun menjadi 5,1 persen, sekaligus menggencet angka kemiskinan menjadi 8,2 persen. Sayang, setelah perhitungan suara pekan lalu, Joyo dan tim lain seakan puasa bicara. "Mereka tengah konsolidasi," kata sumber Tempo yang dekat dengan tim itu.

Di mata para pengusaha atau akademisi, hal mendesak yang perlu dilakukan pemerintah mendatang adalah melakukan debirokrasi serta meninjau kembali peraturan tentang ketenagakerjaan. "Harus dibuat peraturan yang lebih bersahabat terhadap dunia usaha," kata ekonom dari CSIS, Mari Pangestu.

Peraturan ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 Tahun 2000 ataupun UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, kerap dikeluhkan para pengusaha. Kepada Nugroho Dewanto dari Tempo, Ketua Apindo Sofjan Wanandi memberikan contoh aturan ketenagakerjaan yang memberatkan, seperti aturan tentang pesangon yang disebutnya paling tinggi se-Asia.

Sofjan juga mengeluhkan besarnya upah minimum regional yang harus dipenuhi pengusaha. "Kenaikan UMR terakhir tak diimbangi peningkatan produktivitas," Mari Pangestu menambahkan. Selain aturan ketenagakerjaan yang kelewat ketat, keluhan lain dunia usaha adalah administrasi perpajakan yang tidak efisien, tarif bea dan cukai yang terlalu tinggi, serta aneka pungutan yang merebak sejak otonomi daerah.

Pengangguran bukan satu-satunya warisan yang akan memusingkan pemerintah mendatang. Harga minyak yang berayun tinggi di pasar dunia dipastikan akan menjadi simalakama bagi SBY dan tim ekonominya, saat menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) di pasar dalam negeri. Mencabut kebijakan subsidi berisiko mengempiskan dukungan politik. Mempertahankan harga BBM akan memperberat anggaran. Apalagi pemerintah mendatang dibayangi "keberhasilan" pemerintah Megawati Soekarnoputri menekan beban subsidi.

Di depan Sidang Umum MPR pekan lalu, Megawati menyatakan rasio subsidi BBM terhadap produk domestik bruto selama 2001 hingga 2003 terus turun. Angkanya masing-masing 4,7 persen (2001), 1,9 persen (2002), dan 1,7 persen (2003). Megawati mengakui, tahun ini rasio 0,7 persen tak akan mungkin dicapai. Subsidi BBM membengkak menjadi Rp 63 triliun dari semula Rp 14,5 triliun, akibat harga minyak melambung tinggi di pasar internasional.

Batas waktu bagi SBY untuk memecahkan dilema subsidi tidak akan lama. Begitu menduduki kursi presiden, 20 Oktober, ia hanya punya waktu dua bulan untuk menimbang apakah harga BBM akan naik atau tidak. "Hingga akhir tahun harga BBM tidak akan naik karena telah dianggarkan," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.

Dengan seabrek warisan masalah, ekonom Dradjad Wibowo mengingatkan pemerintahan baru agar tak berleha-leha. "Pemerintahan baru harus memberikan sinyal," kata Dradjad. Sinyal itu tak cukup sekadar perombakan aturan yang selama ini memberatkan investasi, tapi juga penegakan hukum. "Pemerintah bisa memperlihatkan kesungguhan dengan memproses kasus yang sudah ada, seperti penjualan tanker Pertamina atau pembobolan dana BNI," Dradjad memberikan contoh.

Thomas Hadiwinata, Siswanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus