SUDAH dua bulan ini eksportir karet uring-uringan. Bukan karena harga di pasar internasional berubah terus sampai tiga kali sehari. Tapi karena perubahan harga cenderung menurun. Dua bulan lalu harga rata-rata setiap kilogram karet alam masih 230 sen Singapura, kini tinggal 220 sen saja. Perubahan yang sedikit-sedikit itulah yang mengkhawatirkan. Itulah sebabnya, Jumat pekan lalu, Indonesia berinisiatif mengundang dua rekan produsen lainnya (Malaysia dan Muangthai), plus para pedagang karet dari Singapura. Mereka merembukkan soal harga. Sayang, Muangthai tidak mengirimkan utusannya. Tapi dengan munculnya Malaysia dan Singapura, pembicaraan masih bisa dianggap cukup berbobot. Setidaknya mewakili 63% karet alam kebutuhan dunia(Malaysia memasok 41%, Indonesia 22%). "Pembicaraan kami fokuskan pada masalah persatuan pasar yang selama ini tidak ada, yang mengakibatkan harga sulit distandarkan," kata Harry Tanugraha, direktur eksekutif Gapkindo (Gabungan Produsen Karet Indonesia). Menurut Harry, salah satu penyebab fluktuasi harga selama ini ialah adanya hubungan langsung antara penjual dan pembeli. "Tak adanya pihak yang mengorganisasi bisa membuat para eksportir sama-sama membanting harga, dan hal itu tentu saja sangat mempengaruhi pasar dunia," ujarnya. Jadi, tidaklah aneh kalau pada pertemuan itu Malaysia mengusulkan agar setiap negara membentuk koordinator pemasarau, yang kelak akan berkiblat pada satu pusat koordinasi (pusat ini bisa di Malaysia, Muangthai, atau Singapura). "Kalau badan itu sudah terbentuk, dengan sendirinya produsen eksportir bisa bersuara sama, terutama dalam soal harga," ujar Harry. Harga memang masih menghantui eksportir. Maklumlah, pada pertengahan tahun lalu komoditi yang pernah menjadi primadona ini pernah terpukul. Ketika itu per kilogram karet kering hanya dihargai 185 sen. Singapura. Bagi produsen Indonesia, hal itu belum merupakan masalah yang serius. Dengan biaya produksi sekitar satu dolar Singapura, mereka masih bisa bertahan. "Hanya untungnya saja yang berkurang," kata Harry. Tapi bagi Muangthai, terutama Malaysia, sudah cukup mengkhawatirkan mengingat biaya produksi per kilo mereka jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia. Dan masalahnya bukan hanya tidak ada keseragaman penawaran, tapi juga karena peran INRO (Organisasi Karet Alam Dunia). Sebagai stabilisator harga, karena anggotanya terdiri atas para produsen dan konsumen, INRO selal bertindak cepat. Buktinya, untuk menjaga agar karet tidak menanjak terus - mendekati batas harga tertinggi: 270 sen Singapura - INRO melepas stoknya sekitar 190 ribu ton (stok per Januari 1988 mencapai 390 ribu ton). Kalau para eksportir "masih" bisa tersenyum, lain lagi produsen barang jadi. Mereka Justru tersenyum di saat harga menukik seperti sekarang. Kenapa? Karena memperoleh karet alam sebagai bahan baku bukanhal yang mudah. Seperti kata seorang produsen ban, "Kita ini terkenal sebagai produsen terbesar nomor dua di dunia, tapi di dalam negeri sendiri karet sukar dicari." Begitu pula keluhan yang dikemukakan oleh seorang pemilik pabrik sepatu di Solo dan Tangerang. Untuk memenuhi kebutuhan pabriknya, yang hanya 1.000 ton per bulan, "kami sudah ngos-ngosan, hingga sering pabrik tidak bisa bekerja penuh kendati pesanan terus mengalir." Lain kalau harga di luar sedang agak turun. "Saat-saat seperti inilah yang menggembirakan bagi pencari bahan baku," tambahnya. Harry sendiri, sebagai ketua Gapkindo tak menolak kenyataan tersebut. Menurut dia, para produsen memang lebih suka mengekspor ketimbang jual di pasar lokal. Karena dengan mengekspor, selain bisa memperoleh kredit milyaran rupiah, suku bunganya pun hanya 9 persen. "Lain sekali 'kan dengan fasilitas yang diperoleh para produsen barang jadi. Sudah kreditnya kecil, bunganya pun lebih tinggi," ujarnya. Budi Kusumah dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini