KALAU Anda naik bis dari atau ke Bandara Soekarno-Hatta, jangan heran. Sekarang tak ada lagi kondektur, karcis dikutip langsung oleh sopir. Inilah salah satu langkah efisinsi yang dilakukan oleh Perum Djawatan Angkutan Motor RI (DAMRI). Dan setelah tia tahun berturut-turut merugi, mulai tahun lalu DAMRI merasakan nikmatnya laba. Hal ini dilaporkan E I. Wirjatmo, Direktur Utama DAMRI, dalam acara dengar pendapat di DPR, dua pekan lalu. Sebelumnya, memang, kerugian DAMRI bukan main-main. Lihat saja, pada 1983 rugi Rp 1,03 milyar. Kemudian 1984/85 Rp 940 juta, dan akhirnya 1985/1986 membengkak menjadi Rp 1,6 milyar. "Rugi membengkak pada 85/86 disebabkan banyak bis yang sudah waktunya diremajakan," kata Pak Wir. Membengkaknya biaya operasi - terutama untuk meremajakan bs-bis yang sudah berumur di atas 5 tahun - tampak jelas pada perkembangan kekayaan DAMRI. Pada 1983 kekayaannya baru mencapai Rp 24,9 milyar, kemudian pada 1985 naik menjadi Rp 32,4 milyar, dan tahun lalu menggembung menjadi Rp 41,3 milyar. Jadi, tidak aneh. Dengan usainya masa peremajaan, operasi DAMRI menjadi lebih efisien, dan untung pun akhirnya bisa dicatat. Menurut Wir, pada 1987 DAMRI bisa meraih laba Rp I ,3 milyar. Banyak sebab yang membuat DAMRI untung. Pertama-tama ada 206 bis baru (akhir 1986), lalu harga solar turun dari Rp 242,00 per liter menjadi Rp 200,00. Dan kenaikan tarif, jelas, turut menentukan. Tarif bis kota untuk umum, misalnya, kini sudah Rp 150,00, sedangkan untuk pclajar Rp 75,00. Begitu pula tarif angkutan luar kota, dari Rp 8,60/penumpang/kilometer tahun lalu, naik menjadi Rp 10,40. Dengan adanya kondisi yang menguntungkan itu, ditambah lagi adanya fasilitas kredit ekspor - bunganya hanya 9% maka wajarlah kalau manajemen DAMRI menjadi lebih optimistis. Dan tahun ini, DAMRI diperkirakan akan meraup untung sampai Rp 1,4 milyar. Sebuah kalkulasi yang masuk di akal, memang. Ini bisa tampak dari gerak DAMRl, yang sangat hati-hati. Misalnya saja, meskipun Menteri Perhubungan memerintahkan agar DAMRI melayani angkutan wisata pada 10 DTW (daerah tujuan wisata), yang dilayani baru empat DTW (Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar). Pertimbangannya: wisatawan, lebih banyak mengalir ke tempat-tempat tersebut. "Memang hanya daerah-daerah itulah yang menguntungkan," kata sebuah sumber di DAMRI. Tentu, tidak semua trayek menguntungkan. DAMRI, yang kini memiliki 1.376 bis, hanya memkmatl keuntungan dari armada angkutan bis kota (sebanyak 767 unit), yang tersebar di delapan kota, dan juga, dari angkutan luar kota yang mengoperasikan 320 bis di 23 kota. "Sedangkan trayek-trayek lainnya, semua merupakan proyek rugi," ujar sumber tadi. Contohnya, armada yang beroperasi dari/ke Bandara Soekarno-Hatta, sekitar 46 unit, armada wisata 46 unit, armada yang melayani angkutan paket l0 unit. Itu semuanya merugi. Belum lagi 185 unit armada perintis, yang menjelajahi daerah-daerah seperti Jayapura, Nusa Tenggara, dan Solok. "Jalur ke sana juga rugi semua," ujarnya. Tapi tidak berarti, keuntungan yang diraih semuanya merupakan usaha para manajer DAMRI. Campur tangan langsung dari pemerintah pun tidak bisa disepelekan. Misalnya dari sekitar 5.600 karyawan yang terdaftar di DAMRI, sebagian berstatus pegawai negeri. Mereka digaji pemerintah. Lantas bagaimana nasib sopir dan kernet? "Kami malah senang, sebab selain dapat gaji bulanan, kami bisa juga mengantungi pendapatan sampinan sekitar Rp 10 ribu/hari. Artinya, nasib kami tidak lebih buruk dari sopir swasta," kata seorang karyawan DAMRI. Yang senang juga Dirjen Perhubungan Darat, Giri Suseno. "Untuk DAMRI, kini tak perlu lagi bahasa swastanisasi. 'Kan sudah untung," ucapnya gembira. B.K., dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini