DIAM-diam, selepas salat Jumat pekan lalu, ada acara penting di Aula Departemen Perindustrian, Jakarta. Nyaris tanpa publikasi, Menteri Perindustrian Hartarto melantik - dan mengganti - sekaligus tiga direktur utama pabrik semen. Mereka memang bukan orang baru di kalangan semen. Ir. Setiadi Dirgo, yang sebelumnya Dirut PT Semen Gresik, akan menjabat Dirut PT Semen Padang. Setiadi menggantikan dirut lama, Ir. Hamdi Gaffar, yang memasuki masa pensiun. Sedang dirut baru PT Semen Gresik adalah Ir. Fuad Rivai, yang sebelumnya menjabat Dirut PT Semen Tonasa. Adapun jabatan Dirut PT Semen Tonasa akan diduduki Ir. Subyakto, semula Direktur Produksi PT Semen Gresik. Tak pelak lagi, inilah mutasi yang tergolong besar di kalangan orang semen. Tapi ada apa sebenarnya? "Tidak ada apa-apa," tutur Setiadi Dirgo, yang tengah bersiap meninggalkan Gresik, pada TEMPO. "Saya ini 'kan ibarat pilot, di mana saja diberi tugas harus siap. Beban tugasnya juga sama berat," kata lulusan Teknik Sipil ITB itu. Setiadi sendiri sudah "kerasan" di Gresik. "Dipindah itu, ya, berat rasanya. Wong di sini kekeluargaan sudah erat," katanya sembari tersenyum. Tapi, tentu ada alasan lain yang membuat Setiadi lebih "kerasan" di Gresik. Adalah Setiadi - menjabat Dirut Gresik sejak 1981 - yang berhasil membawa Semen Gresik lolos dari "lubang jarum" akibat resesi 1983. Salah satu langkahnya "berkelit" dari resesi ialah mengganti bahan bakar minyak dengan batu bara. Upaya ini berhasil menghemat biaya operasional sekitar Rp 5 milyar setahun. Tak cuma itu. Pada saat BUMN berantakan - dan anjuran swastanisasi terdengar keras - Semen Gresik malah berhasil menyetor keuntungan sebelum potong pajak Rp 10 milyar lebih pada 1986. Sedangkan pada 1987, kendati target produksi 1,25 juta ton terlampaui, keuntungan yang dlsetor menurun menjadi Rp 7,080 milyar. Tapi tetap lebih besar dari target tahun itu, sebesar Rp 6,269 milyar. Agaknya, sederet sukses itulah yang membuat Dirgo dikirim ke Padang. Apalagi mengingat kondisi PT Semen Padang yang memang kurang cerah. BUMN ini baru memperluas kapasitas produksinya menjadi 2,1 juta ton setahun - lewat perluasan pabrik Indarung Unit 3 B dengan kapasitas produksi 600 ribu ton,Juni 1987 lalu. Beban pinjaman sebesar US$ 50 juta yang dikoordinasikan Bank Eksim India dengan tiga bank utama India lainnya - untuk Unit 3 B itu kini terpikul di pundak Setiadi Dirgo. Masih untung pasar semen tak seburuk tahun-tahun lalu. Ambil contoh tahun 1987, produksi 10 pabrik semen yang ada di Indonesia mencapai 19,134 juta ton. Sedang daya serap pasar - termasuk pasar ekspor pada tahun yang sama cuma 18,952 juta ton. Berarti masih ada kelebihan hampir 200 ribu ton, yang terpaksa menumpuk di gudang. Lalu untuk melempar semen ke pasaran ekspor juga rugi. Malaysia, Taiwan, dan Muangthai, yang juga produsen semen, agaknya lebih berani banting harga dibandingkan Indonesia. Mengapa? "Harga ekspor kita belum bisa menutup variable cost," ujar Setiadi Dirgo, yang juga salah satu anggota Presidium Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Harga Patokan Setempat (HPS) di Indonesia adalah Rp 3.725,00 per zak (40 kg). Sedangkan harga pasaran ekspor masih di bawah HPS itu. Lagi pula, "Pemerintah tidak memberikan subsidi. Jadi, lebih baik tidak usah melakukan ekspor," tutur Setiadi. Dengan demikian, pabrik semen dalam masa mendatang terpaksa bekerja di bawah kapasitas terpasangnya. Itu mau tak mau harus dilakukan - kalau tak ingin pasar banjir dan harga terbanting. Syukur ada "angin segar". Untuk tahun 1988 ini, 10 pabrik semen telah mencapai kata sepakat: membatasi produksi sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu, ASI juga akan memperketat pemasaran semen per wilayah. "Agar tak lagi terjadi rebutan pasar," ucap anggota Presidium ASI itu. Tapi hari-hari belakangan ini, harga semen eceran di Jakarta kabarnya meningkat, tanpa jelas benar sebabnya. Mungkin sekali karena pembatasan produksi itu, yang begitu cepat menyusup ke telinga pengecer. Toriq Hadad dan Budiono Darsono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini