DAWAI-DAWAI kecapi yang berdenting di pertunjukan kabuki, di Tokyo atau kota lainnya di Jepang, ternyata tidak semuanya buatan lokal. Mungkin saja kecapi itu dibikin oleh Slamet dari Desa Cemani, Sukoharjo, Jawa Tengah. Dan kualitasnya ditanggung prima. Seperti banyak perajin lainnya -- kulit atau perhiasan -- kualitas karya Slamet dalam waktu singkat mendapat pengakuan konsumen Jepang. Kisah sukses Slamet bermula pada seorang wiraswastawan dari Jakarta, yang memberikan desain kecapi Jepang kepadanya. Itulah awal bagi Slamet, 42 tahun, hingga akhirnya terjun sebagai perajin kecapi. Dan akhir Juni lalu, untuk pertama kali ia mengekspor 240 kecapi ke Jepang. Slamet -- dahulunya pembuat gitar dan biola -- mempekerjakan beberapa pemuda anggota karang taruna setempat, yang dilatih dulu olehnya. "Kecapi yang kami buat ini menggunakan tiga dawai, tapi pada saat dimainkan sanggup mengeluarkan nada sampai empat oktaf," tutur Slamet. Selain tripleks, bahan baku kecapi adalah kayu agatis -- jenis kayu yang kini sulit diperoleh di Jepang. Harganya? Dari tangan Slamet, dilepas Rp 30 ribu per buah. Slamet dan lima pemuda drop out yang membantunya sanggup menghasilkan 300 buah kecapi per bulan. Padahal, "Kalau kami bisa menghasilkan 1.000 buah per bulan, eksportirnya masih mau menerima," ujar Slamet pula. Ini berarti peluang masih menganga. Tinggal menambah tenaga perajinnya saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini