Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas, Elim Sritaba mengatakan Sinarmas sebagai salah satu pabrik kertas dan tisu terbesar di Indonesia sudah berkominten menuju nol emisi karbon pada 2060. Bahkan, ia mengatakan perusahaannya berharap target dapat tercapai sekitar tahun 2050.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami membuat path way, mulai 2030 kita ingin menurunkan carbon footprint sekitar 30 persen," ucapnya dalam acara virtual Tempo Energy Day 2022 bertajuk Landscape Industri Menuju NZE pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam jangka pendek, ia mengatakan Sinar Mas tengah mengukur efisiensi energi yang dipakai selama proses produksi. Hasilnya, intensitas energi yang digunakan memang harus dijaga dan diturunkan agar tetap di level yang optimum dan efisien. Karena itu, Sinar Mas meningkatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) di dalam proses produksi sendiri.
Kini, energi yang digunakan berasal dari proses internal dan biomass sebanyak 56 persen. Tetapi Elim menilai untuk sepenuhnya beralih ke EBT, perlu ada kerja sama dengan seluruh pemangku kebijakan terkait. Khususnya soal infrastruktur kelistrikan yang tengah disorot oleh investor maupun pasar. Sebab, kandungan emisi dalam sistem kelistrikan Indonesia masih sangat tinggi yaitu 800 gram per kilowatt hour.
Elim menuturkan transmisi menuju nol emisi karbon menjadi semakin penting karena pasar dari produk Sinar Mas yang meliputi 150 negara, di antaranya memiliki perhatian yang tinggi terhadap energi ramah lingkungan. Ditambah kerja sama yang telah terjalin dengan perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap misi nol emisi karbon.
Ketua Komite Tetap Energi Baru Terbarukan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Muhammad Yusrizki pun mengungkapkan hal yang senada. Menurutnya, pelaku usaha, khususnya investor tidak hanya berfokus pada bisnis semata tapi juga pada isu lingkungan.
"Faktor emisi, faktor kebijakan perubahan iklim kini menjadi acuan pertama ketika memutuskan untuk berinvestasi," ujarnya dalam acara virtual Tempo Energy Day 2022 bertajuk Landscape Industri Menuju NZE pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Ia menilai Indonesia bisa kalah saing dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Sebab kandungan emisi dalam listrik di negara-negara tersebut lebih rendah dibandingkan Indonesia.
Di Vietnam, kandungan emisinya sekitar 500 hingga 600 kilowatt hour. Sedangkan Malaysia di angka 500 per kilowatt hour dan Singapura sebanyak 400 kilowatt hour karena kedua negara tersebut menggunakan gas sebagai sumbernya.
"Ini pekerjaan bersama, baik pelaku usaha Kementerian Perindustrian, dan pemangku kebijakan lainnya yang terkait," ucap Yusrizki.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.