Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pemerintah yang membatasi distribusi LPG 3 kg hanya melalui agen resmi sejak 1 Februari 2025 memicu kelangkaan dan merugikan masyarakat kecil. The PRAKARSA menilai kebijakan ini tidak hanya membatasi akses masyarakat terhadap energi bersubsidi, tetapi juga berisiko menciptakan pasar gelap dengan harga lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan kembali pengecer dalam penjualan gas LPG 3 kg. Langkah ini diambil setelah kebijakan yang diterbitkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No. B-570/MG.05/DJM/2025 memicu berbagai permasalahan di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti The PRAKARSA Bintang Aulia Lutfi menilai kebijakan pembatasan ini telah menciptakan kelangkaan buatan (artificial scarcity), di mana masyarakat kesulitan memperoleh LPG 3 kg akibat terbatasnya saluran distribusi.
"Alih-alih mempersempit distribusi, pemerintah seharusnya memperkuat pengawasan harga di tingkat pengecer. LPG 3 kg adalah hak masyarakat, bukan komoditas yang boleh dipermainkan oleh ketidakefektifan sistem," ujar Bintang, Selasa, 4 Februari 2025.
Menurutnya, kebijakan ini mempersulit masyarakat miskin dan pelaku usaha mikro, yang kini harus menghadapi antrean panjang, mencari agen resmi yang jauh dari tempat tinggal, hingga terpaksa membeli dengan harga lebih mahal di pasar gelap.
Pembatasan akses ini juga berdampak pada ekonomi rumah tangga. Banyak warga yang akhirnya harus mengalokasikan dana lebih besar untuk energi atau beralih ke bahan bakar tak ramah lingkungan seperti kayu dan minyak tanah.
The PRAKARSA turut menyoroti kebijakan ini berpotensi meningkatkan harga LPG di luar kendali pemerintah.
"LPG termasuk barang primer yang inelastis, di mana kenaikan harga tidak signifikan mengurangi permintaan karena merupakan kebutuhan dasar. Alih-alih menyelesaikan masalah mark-up, pembatasan distribusi justru berisiko memunculkan pasar gelap dengan harga lebih tinggi," kata Bintang.
Dengan keterbatasan stok di agen resmi, muncul celah bagi spekulan untuk menimbun dan menjual LPG 3 kg dengan harga yang jauh lebih mahal. Situasi ini semakin menekan masyarakat kecil yang bergantung pada LPG subsidi untuk kebutuhan harian dan usaha mikro mereka.
Sebagai solusi jangka pendek, The PRAKARSA menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan sistem distribusi dengan tetap melibatkan pengecer yang terdaftar. Kolaborasi dengan pengecer lokal dinilai lebih efektif dalam memastikan LPG subsidi tetap tersedia bagi masyarakat yang berhak.
Selain itu, optimalisasi teknologi pendataan, seperti QR Code untuk subsidi LPG, dianggap krusial agar distribusi lebih transparan dan tepat sasaran. Pemerintah juga perlu meningkatkan operasi pasar dan memberlakukan sanksi tegas bagi pelaku penimbunan dan mark-up harga.
"Yang dibutuhkan masyarakat adalah kepastian ketersediaan LPG subsidi, bukan kebijakan yang justru mempersempit akses mereka," ucap Bintang.