Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Keluh Kesah Konsultan

Para konsultan nasional yang tergabung dalam ikindo, menyampaikan keluhan tentang saingan konsultan asing liar. pengawasan kerja orang asing belum efektif. konsultan nasional perlu diperhatikan.

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASKOPKAMTIB Sudomo agaknya sudah dianggap tempat bagi swasta untuk menyampaikan (dan diharapkan bisa membereskan) keluh kesah mereka. Paling tidak bagi para konsultan nasional yang tergabung dalam IKINDO (Ikatan Konsultan Indonesia). Dalam acara makan siang dengan Sudomo di hotel Horizon, awal bulan ini, telah disampaikan berbagai persoalan yang dihadapi para pengusaha jasa-jasa ini. Persaingan dengan konsultan asing, menjadi tema pokok. Wakil PT Insal menyampaikan masalah banyaknya konsultan asing yang bekerja secara liar dan gelap di Indonesia. "Mereka tidak punya izin kerja, dan beroperasi dengan visa saja", tutur pengusaha muda itu. Cara kerja begini, selain menggencet pasaran konsultan nasional, juga merugikan negara karena konsultan asing itu "tidak bayar pajak". "Tapi tidak semua konsultan asing itu bekerja tanpa izin kerja dari Depnakertranskop", bantah seorang pembicara lain. "Kenapa begitu banyak konsultan asing yang masuk ke mari?" Yang dijawabnya sendiri, "karena yang memberi tugas adalah pemerintah se.ndiri, jadi izin-izinnya semua beres". Ahli-ahli dan setengah ahli asing itu, kebanyakan masuk lewat "proyek-proyek bantuan asing, karena biaya konsultasi asing diberikan secara gratis oleh negara-negara donor". Saluran lewat bantuan proyek itu macam-macam. Ada yang berasal dari konsortium IGGI, Bank Dunia maupun Bank Pembangunan Asia. Dari anggaran pemerintah sendiri, kata anggota pengurus IKINDO itu, "anggaran untuk konsultasi sedikit sekali". Karena itu dia menanyakan, "apakah belum saatnya policy itu diubah?" misalnya dengan mencantumkan biaya konsultasi itu dalam D.I.P. (Daftar Isian Proyek). Kalaupun untuk pekerjaan konsultasi tertentu belum dapat ditangani oleh konsultan Indonesia, pekerjaan itu boleh diberikan pada orang asing dengan syarat dia harus bekerja melalui perusahaan konsultan nasional. Dengan demikian, kata si pengusaha tadi, "komando dan bendera tetap ada di tangan kita". Sudomo dengan senyum menampung semua keluh-kesah konsultan itu. "Saya sudah terima banyak laporan tentang praktek-praktek orang asing yang tidak sesuai dengan peraturan di sini. Jangankan konsultan asing, sopir truk pun ada yang diselundupkan untuk mencari kerja di sini, padahal bangsa kita sendiri juga bisa", ujar Sudomo. Katanya, dia juga sependapat dengan para anggota IKlNDO bahwa pengawasan terhadap kerja orang-orang asing di sini "belum efektif". Dengan demikian, kata Kaskopkamtib yang tidak lupa menyinggung aspek sekuritinya, "unsur-unsur subversif asing lebih mudah masuk ke mari, tanpa perlu menggunakan saluran yang ilegal". Tapi bagaimana resepnya untuk memperbaiki segi kontrol itu tidak dijelaskannya. Menyangkut policy pemerintah yang lebih terbuka bagi konsultan asing, kata Sudomo, soal itu "akan saya tanyakan dulu pada Pak Marlin dari Bappenas. Tapi saya setuju bahwa konsultan nasional harus diberi lebih banyak kesempatan kerja". Sebagai contoh dia kemukakan sektor angkutan laut, di mana juga ditekankan bahwa sekurang-kurangnya 50% dari angkutan laut antar negara harus diserahkan pada kapal-kapal Indonesia. "Repotnya", ujar Sudomo lebih lanjut, "ada proyek-proyek tertentu yang ada ikatannya. Misalnya proyek-proyek PBB, di mana disyaratkan harus menggunakan tenaga ahli yang ditunjuk PBB". Berbicara soal pengalihan ketrampilan, anggota pengurus IKINDO Anugerah Pekerti dari Lembaga Pendidikan & Pembinaan Manajemen, mengeluh tentang kesulitan LPPM memasukkan buku-buku asing di bidang manajemen. "Yayasan Lektur, dan semua instansi yang berwewenang dengan urusan buku, sudah mernberikan pembebasan bea-masuk. Tapi toh dalam prakteknya kami harus bayar biaya 40% untuk mengeluarkan buku-buku itu dari pelabuhan. Apakah untuk persoalan ini pun kami harus minta tolong tangan Kopkamtib?" tanya Pekerti, yang disambut gelak-tawa hadirin. Jawaban Sudomo, sudah tersedia pula. Katanya, "saya sendiri juga punya persoalan dalam memasukkan alat-alat olahraga air, yang juga dikenakan bea masuk yang tinggi. Seharusnya buku-buku itu memang dibebaskan bea-masuknya. Tapi Menteri Keuangan di mana-mana selalu sama". Walhasil, dia mencoba menyodorkan jalan keluar lain supaya LPPM tidak perlu terus-menerus mengimpor buku dari luar negeri dan berurusan dengan bea-cukai. "Ambillah contoh Taiwan, tempat buku paling murah di dunia", kata sang laksamana. Negara itu, katanya, "suka membeli hak cipta buku-buku yang diterbitkan di luar negerinya, untuk dicetak dalam jumlah besar-besaran di Taiwan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus