KASKOPKAMTIB Sudomo agaknya sudah dianggap tempat bagi swasta
untuk menyampaikan (dan diharapkan bisa membereskan) keluh kesah
mereka. Paling tidak bagi para konsultan nasional yang tergabung
dalam IKINDO (Ikatan Konsultan Indonesia). Dalam acara makan
siang dengan Sudomo di hotel Horizon, awal bulan ini, telah
disampaikan berbagai persoalan yang dihadapi para pengusaha
jasa-jasa ini.
Persaingan dengan konsultan asing, menjadi tema pokok. Wakil PT
Insal menyampaikan masalah banyaknya konsultan asing yang
bekerja secara liar dan gelap di Indonesia. "Mereka tidak punya
izin kerja, dan beroperasi dengan visa saja", tutur pengusaha
muda itu. Cara kerja begini, selain menggencet pasaran konsultan
nasional, juga merugikan negara karena konsultan asing itu
"tidak bayar pajak".
"Tapi tidak semua konsultan asing itu bekerja tanpa izin kerja
dari Depnakertranskop", bantah seorang pembicara lain. "Kenapa
begitu banyak konsultan asing yang masuk ke mari?" Yang
dijawabnya sendiri, "karena yang memberi tugas adalah pemerintah
se.ndiri, jadi izin-izinnya semua beres". Ahli-ahli dan setengah
ahli asing itu, kebanyakan masuk lewat "proyek-proyek bantuan
asing, karena biaya konsultasi asing diberikan secara gratis
oleh negara-negara donor". Saluran lewat bantuan proyek itu
macam-macam. Ada yang berasal dari konsortium IGGI, Bank Dunia
maupun Bank Pembangunan Asia.
Dari anggaran pemerintah sendiri, kata anggota pengurus IKINDO
itu, "anggaran untuk konsultasi sedikit sekali". Karena itu dia
menanyakan, "apakah belum saatnya policy itu diubah?" misalnya
dengan mencantumkan biaya konsultasi itu dalam D.I.P. (Daftar
Isian Proyek). Kalaupun untuk pekerjaan konsultasi tertentu
belum dapat ditangani oleh konsultan Indonesia, pekerjaan itu
boleh diberikan pada orang asing dengan syarat dia harus bekerja
melalui perusahaan konsultan nasional. Dengan demikian, kata si
pengusaha tadi, "komando dan bendera tetap ada di tangan kita".
Sudomo dengan senyum menampung semua keluh-kesah konsultan itu.
"Saya sudah terima banyak laporan tentang praktek-praktek orang
asing yang tidak sesuai dengan peraturan di sini. Jangankan
konsultan asing, sopir truk pun ada yang diselundupkan untuk
mencari kerja di sini, padahal bangsa kita sendiri juga bisa",
ujar Sudomo. Katanya, dia juga sependapat dengan para anggota
IKlNDO bahwa pengawasan terhadap kerja orang-orang asing di sini
"belum efektif". Dengan demikian, kata Kaskopkamtib yang tidak
lupa menyinggung aspek sekuritinya, "unsur-unsur subversif asing
lebih mudah masuk ke mari, tanpa perlu menggunakan saluran yang
ilegal". Tapi bagaimana resepnya untuk memperbaiki segi kontrol
itu tidak dijelaskannya.
Menyangkut policy pemerintah yang lebih terbuka bagi konsultan
asing, kata Sudomo, soal itu "akan saya tanyakan dulu pada Pak
Marlin dari Bappenas. Tapi saya setuju bahwa konsultan nasional
harus diberi lebih banyak kesempatan kerja". Sebagai contoh dia
kemukakan sektor angkutan laut, di mana juga ditekankan bahwa
sekurang-kurangnya 50% dari angkutan laut antar negara harus
diserahkan pada kapal-kapal Indonesia. "Repotnya", ujar Sudomo
lebih lanjut, "ada proyek-proyek tertentu yang ada ikatannya.
Misalnya proyek-proyek PBB, di mana disyaratkan harus
menggunakan tenaga ahli yang ditunjuk PBB".
Berbicara soal pengalihan ketrampilan, anggota pengurus IKINDO
Anugerah Pekerti dari Lembaga Pendidikan & Pembinaan Manajemen,
mengeluh tentang kesulitan LPPM memasukkan buku-buku asing di
bidang manajemen. "Yayasan Lektur, dan semua instansi yang
berwewenang dengan urusan buku, sudah mernberikan pembebasan
bea-masuk. Tapi toh dalam prakteknya kami harus bayar biaya 40%
untuk mengeluarkan buku-buku itu dari pelabuhan. Apakah untuk
persoalan ini pun kami harus minta tolong tangan Kopkamtib?"
tanya Pekerti, yang disambut gelak-tawa hadirin.
Jawaban Sudomo, sudah tersedia pula. Katanya, "saya sendiri juga
punya persoalan dalam memasukkan alat-alat olahraga air, yang
juga dikenakan bea masuk yang tinggi. Seharusnya buku-buku itu
memang dibebaskan bea-masuknya. Tapi Menteri Keuangan di
mana-mana selalu sama". Walhasil, dia mencoba menyodorkan jalan
keluar lain supaya LPPM tidak perlu terus-menerus mengimpor buku
dari luar negeri dan berurusan dengan bea-cukai. "Ambillah
contoh Taiwan, tempat buku paling murah di dunia", kata sang
laksamana. Negara itu, katanya, "suka membeli hak cipta
buku-buku yang diterbitkan di luar negerinya, untuk dicetak
dalam jumlah besar-besaran di Taiwan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini