CUKONG beras Halim Wijaya alias Cong Kim Lim memang beruntung.
Oleh jaksa ia dituduh menyelewengkan beras dan sekaligus diancam
hukuman karena tindak pidana subversi dan ekonomi. Tapi hakim di
Pengadilan Negeri Pontianak bulan lalu membebaskan Halim Wijaya
(HW) Sebelumnya jaksa menuntut hukuman penjara 10 bulan. Begitu
keputusan Pengadilan Negeri Pontianak pertengahan Oktober lalu.
Yang kurang beruntung adalah Suwito alias The A Im. Tingkatannya
sebagai pedagang beras berada sedikit di bawah HW (TEM PO, 22
Nopember 1975). Tapi Suwito diganjar hukuman 4 tahun dan denda
Rp 7,5 juta atau 6 bulan kurungan. Hukuman belum seluruhnya
dijalaninya dan selesai begitu saja karena Suwito kemudian
kehilangan nyawa.
Cerita tentang HW, yang Direktur CV Halim Wijaya Raya plus Kuasa
Direktur Fa Cahaya Baru itu, sempat menimbulkan kabar burung
mengenai posisi Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat
Baharuddin Lopa SH. Memang kemudian Baharuddin dipindahkan ke
Kejaksaan Agung namun kejadian ini tak ada hubungan dengan soal
penyelewengan beras tersebut. Begitu penjernihan Jaksa Agung
Muda Bidang Operasi Sadeli SH ketika berkunjung ke Kalimantan
Barat. HW menyelewengkan beras Dolog Kalbar sebanyak 5 ribu ton
lebih antara tahun 1973-1974. Itu ringkasan tuduhan jaksa
Yusdaryanto SH terhadap HW waktu itu. Selain dituduh
menyelewengkan beras, HW juga dituduh memusnahkan surat-surat
bukti dalam penyaluran beras.
Cara yang dilakukan HW, menurut jaksa, untuk mendapat keuntungan
adalah dengan menjual beras tanpa DO, yaitu perintah penyaluran
barang. Ada juga yang memakai DO, tapi hanya sebagian kecil. HW
yang hanya diperbolehkan mengambil untung Rp 4 per kilo menempuh
cara lain. Hasil penyalurannya tidak dilaporkan kepada Dolog.
"Tidak ada kewajiban melapor", tangkis HW. Hakim juga bertanya
mengenai keuntungan yang hanya boleh Rp 4 itu. "Saya tidak tahu
dari mana jaksa tahu", begitu jawab HW. Menurut HW yang mendapat
keterangan dari Staf Dolog, Suyono -- malahan juga dari Kepala
Dolog, Heru Sumanto -- penyalur boleh mengambil untung Rp 10
setiap kilo. Perinciannya Rp 5 untuk pengecer dan Rp 5 untuk HW,
termasuk MPO, ongkos angkut dan susutan.
Cocok benar jawaban HW dengan keterangan Suyono dan Heru
Sumanto, yang kemudian dihadapkan sebagai saksi. Begitu pula
keterangan Heru bahwa tidak ada kewajiban bagi penyalur untuk
mempertanggung jawabkan penyaluran beras droping. "Tapi HW
pernah melapor secara lisan", ujar Heru. HW menjadi penyalur
beras Dolog sejak 1970. Bukan atas permintaannya tapi atas
penunjukan Dolog. Dan tidak lupa Heru masih memuji-muji
aktivitas HW. Dolog tidak mendapat keuntungan dari kegiatan HW.
"Tapi sangat penting artinya untuk menstabilkan harga", ujar
Heru sambil menceritakan bahwa antara Juli - Agustus 73 situasi
pasaran beras amat gawat. Tapi setelah HW bergerak harga beras
menurun, kemudian stabil.
Tapi rupanya ada sedikit perbedaan kebijaksanaan pimpinan Dolog
ketika Heru cuti. Pejabat yang ditunjuk Heru sebagai
penggantinya sementara adalah Sutopo SH. Menurut Sutopo setiap
penyalur harus melaporkan hasil penyaluran beras kepada Dolog.
Jika tidak, jelas salah. Bila ada penyalur yang melanggar
ketentuan ini Sutopo menegur lisan atau tertulis. Misalnya
teguran juga ditujukan kepada HW sebab yang diketahui Sutopo
hanya 50 ton beras yang disalurkan HW. Sedangkan beras dari Sub
Dolog Singkawang yang diterima HW 750 ton. Keterangan-keterangan
penting ini dibantah oleh Heru dan HW. Sayang Sutopo tidak bisa
memperkuat kesaksian tertulisnya ini sebab ia keburu dipindahkan
ke Ujung Pandang.
Tiba giliran jaksa mengajukan tuntutannya. HW dituduh melakukan
penggelapan seperti diatur dalam pasal 372 KUHP. Terdakwa yang
berusia 38 tahun ini belum pernah dihukum, memiliki surat
penghargaan dari pemerintah daerah karena jasanya menstabilkan
harga beras. Itu hal yang meringankannya. Tapi ada hal yang
memberatkan seperti dilihat Jaksa Yusdaryanto SH. Terdakwa
sering mungkir sehingga menyulitkan persidangan, sampai
pemeriksaan selesai tidak menunjukkan rasa sesal dan tindakan HW
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dituntut 10 bulan penjara.
Fikir-fikir
Tapi pembela Mahmud Akil SH cepat-cepat mengoreksi sikap jaksa
yang merumuskan tindakan HW sebagai "penyeleweng beras". Rumusan
ini dinilai memberi putusan lebih dulu sebelum hakim memutus
perkara. Berarti, demikian pembela, terlalu cepat jaksa
meninggalkan azas "prasangka tidak bersalah". Pembela juga
memberikan perbedaan angka-angka dalarn surat tuduhan dengan
angka yang terungkap dalam sidang. Angka-angka itu diungkap HW
tapi jaksa tidak memberikan bantahannya. Sebagai penyalur, HW
belum pernah ditegur Kepala Dolog. Walaupun menjual kepada
Suwito, tapi tidak melebihi ketentuan harga. Maka tindakan HW
itu tidak salah. Dengan uraian itu pembela minta agar HW
dibebaskan dari tuntutan hukum.
Tangkisan pembela atas tuntutan jaksa berbuah. Sidang perkara HW
berjalan 8 kali dan dipimpin Ketua Pengadilan Ohim Ibrahim
Padmasasmita SH. Majelis hakim menilai HW tidak bersalah, dan ia
dibebaskan. Agak berbeda dari kebiasaan, Ohim bertanya kepada
Halim Wijaya yang dinyatakan bebas itu. Cukong beras itu aneh
juga: sudah dinyatakan bebas bukannya cepat-cepat menerima
putusan. Ia malah tertegun lalu menjawab: "Fikir-fikir". "Apa?
Fikirfikir?", tanya hakim keheranan. Pembela yang merasa sukses
dalam perkara ini cepat-cepat menerima putusan hakim. "Pak jaksa
bagaimana? Apakah menerima keputusan majelis?" tanya Ohim kepada
Yusdaryanto. Jaksa mengambil jalan tengah dan menyatakan sikap
seperti Halim Wijaya. Fikir-flkir dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini