Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisul Pecah Di Kalimantan

Pertentangan antara pengusaha kayu dari filipina dengan lawan usahanya tarmiji dan para pekerja hutan. 3 orang filipina pimpinan pt yayang tidak disukai pekerja. diusulkan dipersona-non-grata. (eb)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISUL perkayuan di Kalimantan Selatan akhirnya pecah minggu lalu. Sejumlah pejabat pemerintah RI di Banjarmasin dan Jakarta jadi repot dibuatnya . Tak ketinggalan Dubes Pilipina Modesto Farolan. Karena yang tersangkut kali ini adalah tiga orang warganya: Clemente V. Tankeh, Luzmindo P. Jerusalem, dan Felix C. Limjueco: masing-masing dirut, direktur administrasi dan direktur produksi PT Yayang Indonesia -- satu usaha patungan yang punya konsesi hutan seluas 85 ribu Ha di Kal-Sel. Mereka dituntut untuk dipersona-nongrata-kan oleh partner Indonesianya, CV Dua Sekawan. Tuntutan itu dinyatakan dalam surat direktur CV Dua Sekawan, haji Tarmiji bin haji Sulaiman, yang juga seorang direktur PT Yayang, pada Jaksa Agung Ali Said 15 Nopember lalu. Didukung oleh 7 orang karyawan dan bekas karyawan PT Yayang dalam surat mereka pada Jaksa Agung 3 hari kemudian. Jurubicara fihak karyawan itu adalah Max Wilar, terakhir adalah pejabat humas PT Yayang. Sedang beberapa karyawan lainnya, bekerja di kantor pusat PT Yayang di jalan A.M. Sangaji 16 lakarta. Mereka sudah mogok kerja sejak awal bulan ini. Meskipun yang aktif menuntut pengusiran tiga orang warganegara Philipina itu adalah haji Tarmiji, Max Wilar dan kawan-kawannya di Jakarta, biang perkara konflik kerja itu sebetulnya mulai dari hutan juga. Persis bertepatan dengan perayaan Hari ABRI 5 Oktober lalu, 132 karyawan Indonesia dan 79 karyawan Pilipina di kamp Joseph, Km. 63 kabupaten Tabalong menolak kembalinya direktur produksi PT Yayang, Felix C. Limjueco -- yang kebetulan sedang berada di Jakarta -- ke kamp. Malah dalam surat para wakil karyawan kepada Depnaker di Jakarta 12 Oktober lalu, mereka menuntut Limjueco dicabut izin kerjanya dan dipulangkan ke Pilipina. Alasannya: kepemimpinan dia di kamp "terlalu keras, tidak adil dan hanya menginginkan kerja keras tanpa memberikan imbalan yang cukup kepada karyawan Indonesia". Main Hakim Entah didasarkan surat protes para karyawan di kamp itu, Felix memang tidak kembali ke kamp dan sampai minggu lalu kabarnya masih di Jakarta. Sementara itu, sebagian karyawan di kantor pusat Jakarta juga tak puas. Ada yang langsung minta berhenti. Ada juga yang mulai awal bulan ini mogok kerja karena tidak cocok dengan Luzmindo P. Jerusalem, direktur yang biasa dipanggil Mr. Jerry. Hubungan kerja dengan sang dirutyang sering terbang ke Manila atau ke Hongkong di mana induk PT Yayang, Limen International Ltd. berkedudukan -- dianggap sudah tak cocok. Biang perkaranya kabarnya adalah tindakan main hakim sendiri oleh Clemente Tankeh terhadap seorang rekan mereka, Joseph Kumaseh yang menghabiskan uang perusahaan sebanyak Rp 305 ribu di meja judi kasino Jakarta Theatre. Meskipun sudah diwajibkan mengembalikan uang perusahaan melalui potongan dari gaji, "Kumaseh hampir sebulan lamanya sempat merasakan jotosan dan tamparan Mr Tankeh sampai tubuh dan mentalnya sangat tersiksa", kata seorang bekas pegawai. Tergerak oleh ketidakpuasan karyawan Indonesia itu, dan dilengkapi dengan informasi pelanggaran yang telah dilakukan manajemen Pilipina itu, Tarmiji lantas melayangkan seberkas laporan pada Jaksa Agung. Dalam berkas yang juga diteruskan tembusannya pada Presiden, Kaskopkamtib, Dirjen Kehutanan, Dirjen Bea Cukai, Ketua BKPM dan Muspida setempat, sang haji mengajukan tuntutan 6 pasal. Antara lain pengusutan dan pengadilan terhadap pelanggaran hukum yang dijalankan partner asingnya, pengusiran trio Pilipina yang tersebut di atas, serta pembekuan dan pengambilalihan inventaris dan kegiatan partner Pilipina oleh CV Dua Sekawan. Keenam pasal itu seluruhnya didukung oleh ketujuh karyawan dan ekskaryawan PT Yayang. Juga berkas dokumen tentang penyelewengan. Antara lain: * penyelundupan barang-barang impor, baik secara fisik maupun dengan memalsukan harga-harga di dokumen (under-invoicing). Kapal pendarat 'Ligaya' milik PT Yayang yang secara teratur menempuh rute Manila-Banjarmasin-Telang Baru p.p. diisi tempat airnya dengan onderdil, obat-obatan dan barangbarang lain yang lolos dari pengawasan duane. * Penipuan ekspor: salah satu dokumen terlampir menyatakan transaksi 8,4 ribu M3 kayu bundar yang bernilai $AS 517,3 ribu (harga rata-rata $AS 60/m3) dalam negosiasi dengan BNI hanya dicantumkan nilainya sebanyak $AS 394,4 ribu, atau rata-rata $AS 45/m3. Dari selisih $AS 122,8 ribu itu, dibayarkan komisi 1%untuk perantara di Hongkong, M. Nishino & Co, dengan anggapan bahwa pemalsuan nilai transaksi sekitar 20% itu sudah berlangsung sejak 1971, dan sampai sekarang sudah ada 72 x pengapalan ke Jepang. Fihak penggugat beranggapan bahwa negara sudah dirugikan bermilyar-milyar rupiah. * Penyalah-gunaan izin radio SSB, yang hanya boleh digunakan untuk komunikasi dalam negeri (dari kantor ke kamp), tapi nyatanya juga digunakan untuk berkomunikasi dengan Manila. * Penyelewengan asuransi jiwa: klaim asuransi dari perusahaan Periscope untuk karyawan yang celaka atau meninggal, sebagian tidak dibayarkan pada karyawan/ keluarga karyawan yang bersangkutan. * Penyalah-gunaan izin tenaga kerja asing: ada mechanic yang sebenarnya hanya tukang kayu. Ada orang Pilipina yang bekerja di kantor pusat hanya dengan visa turis, lowongan akuntan mereka pun diisi oleh orang Pilipina. * Penghijauan dan peremajaan hutan yang mulai dikerjakan 2 tahun lalu, dalam prakteknya hanya pro forma saja hanya tepi-tepi jalan yang sering ditinjau pejabat yang dihijaukan. Komentar Tankeh Bagaimana kira-kira prosedur dan apa mekanisme bagi pengambil-alihan satu perusahaan kongsi swasta oleh partner Indonesianya? Baik Tarmyi maupun Max Wilar tak dapat menjawab: "Pokoknya, sasaran jangkar pendek kami adalah pengusutan penyelewengan-penyelewengan itu, serta pengusiran ketiga orang Pilipina itu", ujar Wilar pada TEMPO. CV Dua Sekawan bukan satu-satunya partner Indonesia bagi Clemente Tankeh dan anakbuahnya. Sebab berdampingan dengan konsesi PT Yayang, pengusaha Pilipina itu juga memiliki konsesi seluas 45 ribu Ha a/n PT Aya Timber. Partnernya, adalah CV Fajar Elarapan, yang belum terdengar mengeluh terhadap partner Pilipinanya. Lantas apa kata pihak Philipina sendiri? Clemente Tankeh yang dihubungi TEMPO minggu lalu, belum mau memberikan tanggapan tentang benar-tidaknya tuduhan haji Tarmiji dan kawankawannya itu. "lni sekedar merupakan persoalan pribadi antara saya dengan Tarmiji, dan saya optimis bahwa ini bisa kita selesaikan sendiri dalam 1 - 2 bulan. Sebagai tamu di negeri ini, untuk apa saya mau melanggar ketentuan-ketentuan pemerintah Indonesia? Yang terang, saya percaya pada pemerintah anda dan biarlah fihak pemerintah sendiri menyelidiki benar-tidaknya tuduhan-tuduhan itu", begitu komentar Tankeh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus