ADA yang mengatakan, bagi orang asing, mengikuti pemilihan umum di Amerika bagaikan mengintip orang yang sedang bercumbuan: ikut terangsang, namun tidak terlibat. Bisa juga, tetapi saya lebih suka dengan perumpamaan yang lebih sederhana: seperti nonton sepakbola antara dua kesebelasan yang bukan dari kota asalnya: ingin kesebelasan underdog menang, tapi sebenarnya tidak begitu peduli siapa yang betul-betul akan kalah. Dan setelah pertandingan selesai, stand telah diketahui, jalan pertandingan telah sarat dilaporkan, tinggal kejadian-kejadian samping saja yang barangkali belum tersiar, masih punya nilai untuk dikemukakan. Yang menang ternyata bukan calon yang tergolong underdog, dari semula petani kacang dari daerah selatan itu memang telah diramal mau menang, bahkan menang besar. Tapi semakin lama kampanye berjalan, agaknya para pendukungnya berceceran, disebabkan kesalahan-kesalahan yang ia buat, atau pernyataan-pernyataan yang saling berlawanan, sehingga pertanyaan orang tidak lagi "Jimmy, siapa?" tetapi "Jimmy yang mana?" Karena itu setidak-tidaknya seorang pendukungnya tidak sabar lagi dengan tibanya saat pemilihan: "Kalau Humphrey dulu kalah karena ia kekurangan waktu kampanye, maka -- kalau Jimmy kalah itu karena ia terlalu kebanyakan waktu kampanye". Dewi Bugil Carter adalah seorang pemeluk Kristen Baptis yang taat, tetapi "ia tidak hanya bicara dengan Tuhan, tetapi juga dengan Playboy" keluh seorang aktor dan penulis di New York. Wawancaranya dengan majalah itu pada umumnya dianggap suatu kesalahan. Heboh. Kehebohan yang mengilhami seorang karikaturis bernama Conrad, menggambarkan bekas perwira Angkatan Laut itu sedang menatap Patung Dewi Kemerdekaan di New York, sambil membayangkan sang patung dalam keadaan bugil. Karikatur ini saya rasa salah satu yang paling baik di antara karikatur-karikatur pemilihan yang muncul di berbagai koran Amerika. Karikaturis-karikaturis memang banyak mengeluh. Kedua calon itu tidak banyak memberi ilham kepada mereka. "Persaingannya kurang mengasyikkan", kata karikaturis Harian Washington Star, Oliphant. TV tentu saja memberi coverage yang luas. Salah satu laporan yang menjadi favorit saya adalah yang dibuat oleh seorang reporter-humoris, yang biasa melaporkan masalah-masalah yang kadang-kadang serius secara ringan. Sore itu sang reporter ini, Henry Tannenbaum namanya mendatangi sebuah kelas SD di pinggir kota Washington, untuk mengcover pemilihan tiruan di kelas empat SD itu. Hasilnya: Carter menang 75% dan salah seorang anak ditanya: mengapa ia milih Carter? Anak Negro yang giginya keropos itu menjawab: "Saya senang giginya", sembari si Negro cilik balik bertanya, "siapa yang akan kau pilih?" Henry yang kecil tubuhnya, berkumis dan berkaca mata itu, agak terkejut sebentar, kemudian dengan gaya monolog, ia mengangkat corongnya dan bilang (suara rendah, meninggi, mencapai klimaks): "Siapa yang akan saya pilih? (di latar belakang lagu patriotik menggema), saudara-saudara inilah yang akan saya pilih: orang yang jujur, orang yang besar cintanya pada negeri, yang memiliki visi tentang dunia yang damai dan negara yang makmur, orang yang pribadinya terjalin baik, yang satu kata dan perbuatannya, yang mendahulukan kewajiban dari hak . . . dengan kata lain, ladies and gentlemen, saya tidak tahu siapa yang akan saya pilih...". Reporter-reporter TV Washington cukup kreatif juga dalam mencari segi-segi ringan pemilihan. Misalnya, kok bisa-bisanya menemukan seorang warganegara biasa yang namanya kebetulan Jimmy Carter dan satu lagi bernama Gerald Ford. Mestinya tidak begitu sulit, cukup membalik-balik lembaran buku tilpon yang gemuk itu. Tetapi dua orang ini, ketika ditanya, ternyata memberikan pilihan yang menarik: yang Jimmy Carter mau pilih Ford, yang Ford mau pilih Carter. Golput Salah satu keadaan yang menjadi keprihatinan semua fihak sebelum pemilihan berlangsung adalah besarnya golput. Angket-angket pendapat umum waktu itu menunjukkan bahwa golongan ini mungkin akan mencapai jumlah yang terbesar sepanjang sejarah dan akibatnya demokrasi bisa diancam bahaya. Kedua calon itu tidak ada yang baik, sikap mereka terhadap berbagai masalah boleh dikatakan sama, karena itu mengapa memilih? Kata golput. Dua orang pendukung calon yang berlain-lainan, jika terlibat dalam perdebatan tidak lagi mengatakan: "Calonku lebih baik", tapi "calonmu lebih buruk". Keadaan ini -- apatisme, istilah politiknya -- sebagian ditimbulkan oleh karena terus-menerus dikobarkan oleh pers juga. Dan pers jugalah yang akhirnya ketakutan, sehingga tajuk demi tajuk menganjurkan agar orang ramai-ramai ke tempat pemilihan. Harian Christian Science Monitor misalnya mengatakan: "Jika terlalu banyak pemilih tidak memberikan suara mereka sebagai 'protes', mereka mungkin suatu hari nanti akan mendapatkan diri mereka tidak bisa memrotes apapun". Tetapi seorang laki-laki berdiri di depan loket bank, ngomong dengan sengit kepada kasir yang manis, rapi dan masih muda: "O ya saya mau milih besok, kalau tidak saya harus tutup mulut selama empat tahun terhadap kerja orang-orang di Gedung Putih. Tapi kalau saya milih saya tiap hari setidak-tidaknya bisa memaki-maki mereka". Orang Hitam Orang-orang hitam tidak jemu-jemu menganjurkan rekan-rekannya agar memilih. Siapa saja, bukan soal. Mereka ini punya tujuan yang tinggi: jika mereka bisa menunjukkan kekuatan mereka sebagai pemilih, politikus-politikus tidak akan lagi meremehkan mereka. "BlackPower", dengan terjemahan lain. Kemudian ini "Gay Power" kekuatan orang-orang homo. Mereka rupanya mulai mendapat pengakuan juga. Bagaimana tidak, kalau di kota San Francisco saja yang semua penduduknya berjumlah 715.000, 90.000 sampai 120.000 di antaranya adalah orang-orang homo. Di kota New York, bar-bar orang homo tidak dilewatkan oleh tokoh-tokoh yang ingin menduduki Gedung Putih. Meskipun demikian, Jimmy Carter dengan tegas mengatakan homoseksuil adalah dosa, sembari menegaskan bahwa ia toh akan menandatangani RUU yang sedang dibicarakan Kongres yang akan melarang diskriminasi terhadap orang-orang homo. Calon presiden dari Partai Komunis Amerika (Gus Hall untuk presiden dan Jarvis Tyner, wakilnya dan Dr. Herbert Aptheker, untuk Senat) lain lagi caranya. Mereka tidak mendatangi bar-bar atau gereja-gereja tentunya dan ngomongnya juga tidak muluk-muluk. "Kalau kota ini ingin dapat banyak bantuan dari Pemerintah Federal", katanya di depan sejumlah hadirin di kota New York suatu hari, "maka berilah suara sebanyak-banyaknya kepada Partai Komunis. Tanggung orang-orang Washington akan kelabakan dan buru-buru memberi bantuan berapapun yang anda minta". Nasihat ini kedengarannya sama dengan guyon orang-orang di dunia ketiga: "Kalau ingin bantuan lebih banyak dari Amerika, demonstrasilah sering-sering ke kedutaannya". Pemilihan umum di Amerika sudah selesai. Dimenangkan oleh si petani kacang, yang lagak ngomongnya tidak pernah meyakinkan. Kemenangan itu telah diterimanya dengan menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini