ENTAH berapa rol film setiap pekan dihamburkan di TIJA (Taman Impian Jaya Ancol). Entah berapa banyak album foto dibuat jutaan pengunjung setiap tahun di pusat pariwisata domestik teramai itu. Tak mengherankan kalau promosi Kodak secara besar-besaran dibidikkan di TIJA. Sejak pekan lalu, Kodak menjadi film resmi di situ. Artinya, para tukang potret yang mangkal di situ harus menggunakan film berlabel kuning yang disalurkan PT Inter Delta, distributor Eastman Kodak Company, AS. Dan hanya film Kodak juga yang boleh dijual di kompleks TIJA. Hak istimewa tersebut diberikan pengelola TIJA, karena Kodak telah ikut menyeponsori pembangunan Istana Boneka Dunia Fantasi, yang akan rampung Juni 1985. Istana itu - dengan sekitar 600 boneka elektronik yang menggambarkan kekhasan Jakarta, Indonesia, dan benua-benua Asia Eropa, dan Amerika - dibangun dengan biaya US$3 juta (Rp 3 milyar lebih). Separuh biaya ditanggung sendiri oleh PT Pembangunan Jaya, pengelola TIJA, dan 50% lagi merupakan grant dari Eastman Kodak Co., New York. Menurut direktur utama Pembangunan Jaya, Ir. Ciputra, Kodak akan memberikan bantuan tadi secara bertahap: US$ 300.000 per tahun. "Hal itu sebenarnya merupakan biaya promosi Kodak di lingkungan PT Jaya Ancol selama lima tahun," kata Ciputra. Besarnya anggaran promosi Kodak itu, agaknya, untuk mencoba mengejar ketinggalan dalam pemasaran produk-produknya di Indonesia. Nama Kodak sebenarnya sudah lama dikenal di sini, karena perusahaan internasional dari AS itu sudah masuk ke Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II. Kegiatannya terhenti sekitar 1960 karena instruksi presiden, tetapi namanya sudah telanjur populer walaupun terbatas untuk kamera. Baru pada 1977 Kodak kembali ke Indonesia, tapi pasaran sudah keburu dikuasai perusahaan-perusahaan Jepang - Fuji dan Sakura - yang masuk ke Indonesia sekitar 1969. Tapi, Kodak belum memperhitungkan pasaran baru yang mulai tumbuh di kalangan masyarakat yang mulai mampu membeli kamera. Kodak kembali ke Indonesia dengan tetap mengandalkan pasar di kalangan juru potret, yang lebih banyak berspesialisasi untuk pemotretan hitam-putih, pasfoto, atau slide. Pemotretan foto berwarna yang bermutu terbatas pada kalangan orang yang mampu membayar mahal. Sedangkan masyarakat kebanyakan masih memilih film yang lebih terjangkau ukuran kantung. Dan itu ditawarkan oleh film-film produk perusahaan Jepang. Lagi pula, promosi Kodak terbatas untuk konsumen kota, sedangkan Fuji, selain mengiklankan diri di kalangan yang sama, Juga menyebarkan poster-poster yang besar ke pedesaan. Pasaran filmnya antara 1,2 juta dan 1,5 juta rol, yang dijual Rp 3.000 (ASA 100) sampai Rp 3.600 (ASA 400) per rol di agennya yang tersebar di seluruh Nusantara. Kini, pemotret mulai banyak di pusatpusat rekreasi, seperti TIJA, Taman Mini Indonesia Indah, atau Kebun Raya Bogor. Banyak dari mereka menggunakan kamera pembuat foto langsung jadi buatan Fuji. Kodak, kml, mulai mengincar para tukang potret yang sangat potensial itu. Tapi, tampaknya, jumlah pengunjung TIJA yang menjadi sasaran utama penjualan film Kodak. Menurut Ir. Ciputra, pengunjung TIJA dewasa inisekitar 10 juta orang per tahun. Dapat dipastikan, akan banyak orang pulang membawa foto indah dari Dunia Fantasi, dengan boneka-boneka bertulisan "dipersembahkan oleh Kodak" itu. "Bila orang mau membeli film kami, kontrak dengan PT Pembangunan Jaya bisa kami perpanjang lagi," kata presiden direktur Eastman Kodak, Colby Chandler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini