SEMAKIN tua, Hotel Panghegar semakin modern. Hotel berakta pendirian 1922 itu - mungkin tertua di Bandung dan bahkan di Indonesia - semula dibeli oleh anak petani asal Sumedang, Enang Kana Ruhijat, 1960, berbentuk sembilan rumah dengan 48 kamar. Kini, Hotel Panghegar tegak dekat Jalan Braga setinggi 10 lantai dengan 223 kamar. Kini, sejak September lalu, 56 kamar baru dibangun lagi, termasuk sebuah supersuite room dan restoran berputar di puncak gedung. Diharapkan rampung Januari 1985. Ruhijat, 61, membeli hotel yang semula bernama Hotel Van Hengel itu dari pemilik lama, Ny. A.M. Meister. Wanita Italia itu, karena hendak pulang mengurus hotel orangtuanya di Italia, mengoperkan Van Hengel kepada Ruhijat, karyawan Van Hengel sejak 1943. "Saya mulai bekerja sebagai kerani, terakhir jadi juru tulis merangkap petugas pembukuan, dengan gaji 15 gulden," kata Ruhijat kepada TEMPO. Tapi Ruhijat diberi kesempatan oleh Ny. Meister untuk mencicil hotel berstatus PMDN dengan modal disetor tercatat Rp 5.000 itu dalam tempo delapan tahun. Ternyata, lulusan MULO itu mampu mengelola Van Hengel. Kendati pada tahun 1963 terjadi sanering uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, Ruhijat, "pemegang buku" (bon A dan B) itu, lancar menyetor angsurannya. "Saya selamat dari sanering, karena setoran untuk bulan berikutnya sudah saya buatkan SPMU (surat perintah membayar uang) di bank setiap bulan," tuturnya. Ternyata, ia mampu melunasi cicilan kepada Ny. Meister hanya dalam empat tahun. Tidak mudah bagi pemilik hotel di Bandung, waktu itu, untuk mengatur keuangan. Tamu hotel 80% adalah pejabat pemerintah dan tentara. Kendati hotel-hotel di Bandung itu milik swasta, tarifnya ditentukan pemerintah. Lagi pula, para tamu itu menginap bisa berbulan-bulan - seperti indekos - sedangkan uang sewa mereka harus ditagih di Kantor Perbendaharaan Negara. Proses penagihan itu bisa sampai enam bulan. Karena itu, menjelang konperensi pertama PATA (Pacific Area Travel Association), 1964, Ruhijat bersama para pemilik hotel Istana, Savoy Homann, dan Kumala menghadap pemerintah memohon izin menjadikan hotel mereka sebagai hotel pariwisata. Dikabulkan, dan Van Hengel diubah nama menjadi Hotel Panghegar (Penyegar). Dengan alasan hendak meningkatkan sarana dan fasilitas, tarif hotel boleh dinaikkan 50% dari semula Rp 1.200 per hari. Tamu yang indekos dibatasi maksimum 50%, sehingga tamu harian, yang dulu cuma bisa mengisi 20% kamar, punya kesempatan lebih banyak. HOTEL Panghegar mulai dibenahi. Mula-mula Ruhijat hanya memberi kamar mandi untuk tiap-tiap kamar sebab dulunya tamu harus antre di toilet umum. Pada 1969, Ruhijat menerima kredit dari pemerintah, untuk membangun 20 kamar lengkap dengan telepon dan sistem pendingin. Tiga tahun kemudian ia menerima kredit dalam rangka PMDN untuk merombak bangunan lama dan mendirikan gedung bertingkat empat dengan 96 kamar. Tahun ini utang hotel itu sudah Rp 3,1 milyar, tapi asetnya sudah mencapai Rp 5 milyar lebih, yang terdiri dari Hotel Panghegar berlantai 10, berikut Hotel Kumala Panghegar berkamar 66, dan tempat rekreasi Panorama Panghegar di Lembang. Kendati banyak hotel dewasa ini merugi, Panghegar mampu berkembang, karena banyak turis senang menginap di hotel yang tergolong terkemuka di "Paris van Java" itu. Menurut Ruhijat, titik impas bagi Panghegar bila 40%-60% kamar terisi, sedangkan kamar-kamar bertarif Rp 30.000 sampai Rp 112.000 rata-rata terisi 70%-80%. Selain mampu mencicil utang, yang harus dibayar selama tujuh tahun mendatang dengan angsuran berikut bunganya Rp 450 juta per tahun, Ruhijat menyatakan mampu membayar berbagai macam kewajiban hotel kepada pemerintah, yaitu pajak dan lainlain, sekitar Rp 500 juta per tahun. Dilayani oleh 350 orang, pada tahun fiskal terakhir Panghegar memperoleh keuntungan kotor Rp 548 juta. Menurut Ruhijat, yang sudah mulai mengoperkan pengelolaan Hotel Panghegar kepada tujuh anak dan menantunya itu, fasilitas hotelnya yang berbintang tiga itu untuk sementara cukup. Bukan cuma anak-anaknya yang dididiknya untuk mengelola Panghegar. Sejak tahun lalu, kepada para karyawan diperkenalkan sistem manajemen QCC (Quality Control Circle) yang memungkinkan bawahan mengemukakan pendapat - sama seperti sewaktu Ruhijat masih menjadi karyawan Van Hengel: bekerja seperti pemiliknya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini