Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kemelut di Ambang Karam

Konflik di tubuh TVRI kian runcing. Televisi pemerintah ini segera bangkrut?

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Sumita Tobing tanpa ragu menapaki anak tangga Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta. Sang Direktur Utama TVRI datang bukan untuk keperluan wawancara atau syuting acara. Senin minggu lalu itu, ia tengah mengadukan koleganya sendiri: empat direktur?Direktur Pemasaran Sutrimo, Direktur Teknik Ahmad Adiwijaya, Direktur Produksi Barita Effendi Siregar, dan Direktur Keuangan Badaruddin Ahmad?serta Dewabrata, anggota Dewan Pengawas TVRI. Mereka dianggap Sumita telah memfitnahnya. Ada apa gerangan? Menurut Fredi Simanungkalit, pengacara Sumita, laporan dibuat sebagai reaksi atas surat kelima pejabat TVRI itu, yang isinya dinilai tak benar dan telah mencemarkan nama baik kliennya. Diteken pada 10 Desember lalu, surat itu memaparkan "13 dosa" Sumita selama memimpin TVRI dan dilayangkan ke segala penjuru: Menteri Keuangan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, serta semua kepala divisi dan manajer TVRI di berbagai daerah. Tapi Sutrimo berpendapat bahwa suratnya itu tak bermaksud menjatuhkan Sumita. "Tak ada masalah pribadi. Tujuan kami sama, agar TVRI maju," katanya. Masih menurut Sutrimo, akar konflik di TVRI yang terjadi beberapa bulan belakangan ini sebenarnya cuma menyangkut soal manajerial. Di matanya, sepak terjang Sumita kerap bertentangan dengan ketentuan. Misalnya, tanpa persetujuan direksi lain, Sumita menunjuk Darmadi, Kepala Pusat Transmisi, menjadi pemimpin proyek media massa senilai Rp 100 miliar. Yang lain, dengan seenaknya Sumita juga memproses rencana tukar guling kantor TVRI Surabaya dengan bekas kantor eks SCTV di kawasan Darmo Permai. Pendek kata, Sumita dituding otoriter dan membatasi wewenang direktur lainnya. Menanggapi berbagai tuduhan itu, dengan kalem Sumita berkata, "Itu semua cuma fitnah." Ia mengaku hanya mengusulkan nama Darmadi, tapi yang memutuskan adalah Departemen Keuangan. Soal tukar guling kantor, menurut dia, Sutrimo dkk. salah pengertian. Lahan kantor itu milik Pemerintah Daerah Surabaya, sehingga "ketika Wali Kota Surabaya memilih menyewakannya kepada pengelola mal, TVRI tak bisa apa-apa". Ini pun baru sebatas omongan, belum direalisasi. Karena itulah Sumita hakul yakin, urusannya tak semata soal manajerial. Ia menuding Sutrimo dkk. berniat menendangnya karena tak mau status TVRI berubah dari perusahaan jawatan jadi persero, seperti yang tengah diikhtiarkan Sumita. Tujuannya, Sutrimo ingin supaya TVRI tetap disuapi pemerintah. Kini TVRI disubsidi APBN sebesar Rp 157 miliar setahun. "Mungkin mereka khawatir, karena tak cukup punya kemampuan," kata Sumita. Adanya waswas ini diakui Sutrimo, "Jika TVRI menjadi persero, jatah subsidi itu bakal dicabut." Sebaliknya, Sumita ingin TVRI mandiri dengan status persero, sehingga bisa lebih gesit mencari sumber dana. Sekarang, subsidi dari pemerintah jelas tidak mencukupi. Dari kucuran dana Rp 157 miliar itu, Rp 67 miliar sudah habis untuk membayar gaji 5.700 pegawai tetap dan 1.120 tenaga kontrak. Sisanya, Rp 90 miliar, jelas jauh dari cukup untuk menghidupi 24 stasiun penyiaran dan 395 stasiun pemancar di berbagai daerah. Untuk hidup normal, Sumita menghitung, TVRI butuh Rp 1,2 triliun setahun, atau "sedikitnya Rp 400 miliar agar tak karam". Sebagai perbandingan, RCTI saja, dengan pegawai cuma 1.500 orang dan 47 pemancar, tiap tahun diongkosi Rp 1 triliun. Tapi Sumita merasa langkahnya terus diganjal. Upayanya untuk membuat keuangan TVRI lebih transparan, antara lain melalui audit oleh akuntan publik, selalu dihadang. Puncaknya pada 7 November lalu. Ketika itu, tanpa setahu Sumita, Direktur Keuangan Badaruddin mengganti Kepala Divisi I Jakarta Wardi Wahid dengan Yasirwan Uyun, dan melantik Suheri Juwoto, Kepala Divisi III Medan, sebagai Kepala Pemberitaan TVRI, menggantikan Yon Anwar. Ishadi S.K., bekas Direktur Utama TVRI, melihat konflik ini sudah sangat mengkhawatirkan. Ia tak habis pikir kenapa pemerintah berpangku tangan saja, tak segera menengahi. Satu-satunya harapan untuk menyelamatkan TVRI, menurut dia, tinggal pada kepala divisi serta manajer di daerah, yang masih relatif netral. Bahaya itu bukannya tak disadari Sumita. Katanya, "Jika begini terus, TVRI sedang menghitung hari." Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus