LAMA dipandang sebagai konflik agama, perseteruan warga Islam versus Kristen di Maluku mungkin kini harus dilihat dengan menggunakan kacamata baru. Setidaknya, tentang bagaimana konflik itu muncul tiga tahun silam, dan bagaimana sulitnya menghentikan tragedi yang menewaskan puluhan ribu orang serta menjadikan ratusan ribu lainnya pengungsi di kedua pihak.
Berty Loupatty, komandan geng Cowok Keren, sebuah kelompok preman Kristen di Ambon, membuat pengakuan penting yang disampaikan kepada pers oleh pengacaranya, Christian Rahajaan, pekan lalu. Berty, yang kini mendekam dalam tahanan Brigade Mobil di pinggiran Jakarta, memperkuat laporan-laporan sebelumnya bahwa Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elite Angkatan Darat, membantu kelompok preman itu melakukan teror brutal terhadap desa-desa Kristen sendiri dalam dua tahun terakhir.
"Ini resmi campur tangan Kopassus yang masih aktif dari Satuan Tugas Sandi Yudha, bukan anggota yang desersi," kata Christian.
Laporan tentang persekutuan Cowok Keren (Coker) dengan Kopassus dalam konflik Maluku tidaklah baru. Oktober lalu, pernyataan serupa datang dari sejumlah anak buah Berty yang telah ditangkap. Mereka mengatakan, aksi teror Coker dilakukan atas perintah Berty, dan dirapatkan bersama beberapa anggota Kopassus. Namun, dalam wawancara dengan majalah ini, Berty, yang pada waktu itu belum ditangkap, membantahnya. Tak hanya menampik tudingan terlibat dalam aksi teror, dia juga membantah memperoleh dukungan dari Kopassus.
Berty ditangkap tak lama setelah itu. Dan setelah berbulan-bulan diam, kini dia mulai bernyanyi.
Sejumlah teror selama dua tahun terakhir di Maluku memang membuat soal menjadi rumit. Berdasarkan dokumen Mabes Polri yang kemudian ditelusuri TEMPO di Ambon, ada setidaknya 13 kejadian yang melibatkan kelompok Berty, dan 9 di antaranya melibatkan anggota Kopassus (lihat tabel). Teror itu bahkan mencolok terjadi setelah Perundingan Malino, perundingan damai antara Kristen dan Islam yang dipelopori Jusuf Kalla. Teror itu seperti dilakukan untuk sengaja menggagalkan perdamaian.
Kelompok Berty terlibat dalam sejumlah serangan. Menurut polisi, merekalah yang meledakkan bom di sebuah pangkalan ojek Ambon, pada 27 Agustus 2001, menewaskan 2 orang dan melukai 16 lainnya. Sebulan kemudian, mereka kembali beraksi: meledakkan bom dalam sebuah mobil angkutan kota, menewaskan satu orang. Dalam sebuah aksi 12 November 2001, mereka dibantu seorang anggota Kopassus bernama Ridwan untuk meledakkan bom dalam sebuah toko elektronik menewaskan tiga orang.
Coker membuat aksi yang lebih fantastis menjelang Natal 2001 ketika meledakkan kapal motor California, berisi ratusan penumpang, yang tengah mendekati Pelabuhan Galala, Ambon. Sebelum kapal meledak, para pelaku mencebur ke laut dan berenang ke pantai, tempat sebuah speed boat menunggu membawa mereka pulang ke markas Berty. Dalam serangan ala militer itu, menurut pengakuan Berty, anak buahnya menerima bayaran Rp 25 ribu dari seorang anggota Kopassus bernama Dio.
Jejak pasukan elite Angkatan Darat itu kembali terdeteksi pada peledakan tak kurang dari 10 bom di dekat Hotel Amboina, yang menewaskan 6 orang dan melukai 61 warga. Anggota Kopassus yang terlibat disebut-sebut bernama Marcel.
Tapi teror brutal Coker sejauh ini, dan paling monumental, terjadi dalam serangan ke desa seperti Portho, Haria, dan Soya. Dalam aksi itu, menurut pengakuan Berty lewat Christian, mereka mendapat pengarahan dari sejumlah anggota Kopassus dan bahkan menerima bekal senjata pasukan elite itu.
Tujuan serangan adalah memprovokasi konflik antara Desa Portho dan Haria. Para penyerang dibagi dalam dua kelompok yang terdiri atas enam orang. Dipimpin Dio dari Kopassus, satu kelompok menyusup ke Portho, sedangkan kelompok lain yang dipimpin Ridwan masuk ke Haria membawa senjata standar militer SS-1. Setelah warga terpancing, mereka kabur dengan meninggalkan sejumlah ledakan bom. Provokasi seperti itu terjadi dua kali di Portho dan Haria, yakni pada 10 April dan 8 Mei 2002.
Di Soya, sebuah Desa Kristen, mereka beraksi lebih brutal. Menurut dokumen penyidikan polisi, 10 anggota kelompok Coker bergabung bersama sekitar 200 pasukan siluman "berbaju doreng dan bertopeng" menyerang desa itu ketika fajar. Mereka membumihanguskan Soya, yang terpencil dan diapit bukit, dengan bom, mortir, dan senapan mesin SS-1 serta AK-47. Mereka membunuh 12 orang, merontokkan satu gereja, dan membakar 22 rumah.
Serangan brutal ke Soya telah memperuncing hubungan Islam dan Kristen yang sebenarnya mulai membaik setelah Perundingan Malino. Teror itu juga menarik perhatian internasional. International Christian Concern, sebuah lembaga swadaya Kristen di Amerika, menyebut peristiwa ini sebagai "Christian Holocaust in Indonesia"?mengesankan pembantaian minoritas Kristen oleh mayoritas Islam.
Setelah di Soya yang legendaris, Coker dan Kopassus masih beraksi di berbagai peristiwa. Namun, baru pada pertengahan 2002, polisi mulai bertindak. Polisi menangkap tangan kanan Berty, Yunus Tanalepy. Dari pengakuan Yunus, polisi kemudian juga menggulung 13 anggota Coker lainnya. Namun Berty tak bisa ditangkap. Pada Mei tahun lalu, polisi terlibat dalam baku tembak dengan Kopassus yang melindunginya dan memungkinkan Berty lolos.
Hubungan kelompok Berty dengan Kopassus terjalin ketika Kopassus masuk ke Ambon sejak 2001. Saat itu para anggota Kopassus yang diperbantukan di bawah kendali operasi Kodam Pattimura memanfaatkan Berty dan kawan-kawan untuk memata-matai aktivitas kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM). Namun pengakuan Berty pekan lalu jelas menunjukkan tujuan itu telah melenceng jauh.
Komandan tim Kopassus kala itu, Mayor. Inf. Imam Santosa Ramahdhany, mengakui anak buahnya memang memanfaatkan Berty sebagai informan. Namun dia membantah anak buahnya turut melatih dan bertempur.
Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen Sriyanto Muntasram, meminta agar pengakuan Berty itu diklarifikasi kepada Panglima Kodam Pattimura. "Anggota Kopassus statusnya diperbantukan," katanya. "Jadi, operasionalnya dikendalikan Kodam setempat."
Panglima Kodam XVI Pattimura Mayjen TNI Djoko Santoso sendiri tampaknya kewalahan mengendalikan anggota-anggota yang diperbantukan itu. Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan di Maluku, Djoko merasa masygul ketika pada Juni lalu memergoki Berty disembunyikan dalam sebuah rumah dengan pengawasan Kopassus, meski telah berkali-kali memerintahkan jangan lagi melindungi Berty. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, karena operasi tampaknya dikendalikan oleh Lettu Inf. Rori Sitorus, Komandan Pos Kopassus di sana.
Djoko, yang dihubungi kembali pekan lalu, berjanji akan menangkapi anak buahnya yang terlibat aksi brutal dua tahun terakhir. "Bila perlu, tembak saja," katanya. Namun Djoko mungkin kini tak bisa apa-apa pula. Rori Sitorus dan sejumlah anggota Kopassus yang pernah terlibat di Maluku kini telah ditarik ke markas pasukan elite itu di Kandang Menjangan, Kartasura, Solo. Menurut pengacara Berty, Christian, dua bulan lalu sebelum menyerahkan diri ke polisi, ke situ pula kliennya sempat berkunjung untuk bertemu Sitorus.
Jika benar para anggota dan perwira Kopassus harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam aksi teror di Maluku, para penegak hukum tahu di mana mereka harus mencari.
Namun sampai pekan lalu tak ada tindakan. Wakil Komandan Pusat Polisi Militer Brigjen Hendardji mengatakan, belum ada anggota Kopassus yang disidik. "Saya sudah menelepon Mabes Polri menanyakan kasus ini, dan sekarang kami masih menunggu laporan resmi dari polisi," katanya.
Edy Budiyarso, Frits Kerlely (Ambon), dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini