Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kemenkeu Duga Audit Lapkeu Garuda Tak Penuhi Standar Akuntansi

Dua komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria sebelumnya menolak menekan laporan keuangan perusahaan tahun 2018 tersebut.

14 Juni 2019 | 15.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto menduga proses audit keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., belum sepenuhnya mengikuti standar akuntansi yang berlaku. "Tapi tidak bisa serta merta kami putuskan sanksinya," kata Hadiyanto di kantornya, Jakarta, Jumat, 14 Juni 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca: Kasus Kartel, Pengadilan Australia Hukum Denda Garuda 190 M

Menurut Hadiyanto, Kementerian Keuangan sedang berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK memberikan penilaian terlebih dahulu. Hal itu, kata dia, karena Garuda merupakan perusahaan terbuka yang tercatat sahamnya di pasar modal.

Hadiyanto menjelaskan, OJK punya assesement untuk kemudian menjatuhkan sanksi atau sebenarnya level pelanggaran bagi konteks transparansi dan keterbukaan informasi di perusahaan terbuka seperti apa. "Nah itu yang harus di-assesment oleh OJK," ucapnya.

Kesimpulan adanya adanya dugaan proses audit itu, muncul setelah Kementerian Keuangan memanggil dan melakukan pendalaman terhadap audit yang dilakukan terhadap kantor akuntan publik perwakilan dari Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan yang merupakan anggota dari BDO International Limited.

Soal kenapa laporan keuangan diperiksa oleh OJK, menurut Hadiyanto, karena Garuda Indonesia adalah emiten perusahaan publik. "Kalau yang kegiatan KAP non emiten, kita P2PK (Pusat Pembinaan Profesi Keuangan) bisa langsung melakukan tindakan baik sanksi maupun peringatan, maupun pembinaan," tuturnya. OJK sebagai penilai perusahaan publiknya, sementera Kemenkeu melalui P2PK, menilai terhadap profesi keuangannya.

Dua komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria sebelumnya menolak menekan laporan keuangan yang mencatatkan pembukuan Garuda Indonesia selama setahun dalam rapat umum pemegang saham tahunan 24 April lalu. Penolakan keduanya dibuktikan dengan surat keberatan yang dilayangkan terhadap perusahaan pada 2 April 2019.

“Merujuk kepada Laporan Tahunan Perseroan Tahun Buku 2018 yang diajukan kepada kami,……, sesuai dengan Pasal 18 ayat 6 Anggaran Dasar Perseroan, bersama ini kami bersikap untuk tidak menandatangani laporan tahunan tersebut,” tulis keduanya dalam surat yang tersebar di kalangan awak media.

Keterangan surat itu menyebutkan bahwa laporan keuangan Garuda Indonesia bertentangan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Negara Nomor 23 lantaran telah mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang. Piutang yang dimaksud berasal dari perjanjian kerja sama antara PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Mahata Aero Teknologi serta PT Citilink Indonesia.

Kerja sama yang diteken pada 31 Oktober 2018 ini mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang sebesar US$ 239.940.000 dari Mahata. Dari jumlah itu, US$ 28 juta di antaranya merupakan bagi hasil yang seharusnya dibayarkan Mahata untuk PT Sriwijaya Air.

Dalam surat ini disebutkan, dua komisaris menolak laporan keuangan Garuda Indonesia karena akan menyesatkan publik. Pengakuan pendapatan ini juga dianggap dapat menimbulkan beban cash flow perseroan.

Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan, sejatinya ada dua transaksi pada perjanjian kerja sama Garuda - Mahata. Keduanya terkait layanan konektivitas dalam penerbangan dan pengelolaan layanan hiburan di dalam pesawat.

Transaksi pertama, yaitu biaya kompensasi atas penyerahan hak pemasangan layanan konektivitas serta pengelolaan in-flight entertainment. Kedua, bagi hasil (profit-sharing) atas alokasi slot untuk setiap pesawat terhubung selama periode kontrak.

“Atas transaksi tersebut, Garuda mengakui pendapatan yang merupakan pendapatan atas penyerahan hak pemasangan konektivitas, seperti halnya signing fee atau biaya pembelian hak penggunaan hak cipta untuk bisa melaksanakan bisnis,” kata Fuad, Ahad 28 April 2019.

Fuad menambahkan, penjualan atas hak ini tidak tergantung oleh periode kontrak dan bersifat tetap, yang telah menjadi kewajiban pada saat kontrak ditandatangani. Adapun, Garuda grup tidak memiliki sisa kewajiban setelah penyerahan hak pemasangan alat konektivitas tersebut. 

Sesuai dengan pendapat hukum dari Kantor Hukum Lubis, Santosa & Maramis, kata Fuad, pembayaran kompensasi hak pemasangan tersebut tidak serta-merta menimbulkan kewajiban Garuda Group untuk mengembalikan biaya hak kompensasi yang telah dibayarkan Mahata, apabila di kemudian hari terdapat pemutusan kontrak kerja sama.

Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memverifikasi laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018. Permintaan ini disampaikan menyusul adanya penolakan dari dua komisaris perusahaan pelat merah ini terhadap laporan keuangan tersebut.

Baca: Kerja Sama Code Share Garuda-China Airlines, Bagaimana Sistemnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami meminta Bursa Efek dan SRO (Self Regulatory Organizations) melakukan hal itu, nanti hasilnya bisa dilaporkan ke OJK,” kata Wimboh menanggapi audit laporan keuangan Garuda Indonesia, Kamis, 2 Mei 2019.

HENDARTYO HANGGI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus