Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kementerian ESDM Dorong Peningkatan Produksi CPO untuk Dukung Pengembangan B40 dan B50

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan Crude Palm Oil (CPO) harus terus ditingkatkan untuk mendukung program pengembangan biodiesel 40 dan 50 yang akan diluncurkan pada tahun 2025.

19 November 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja menunjukan buah kelapa sawit di lahan milik PT Perkebunan Nusantara VIII, Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin 4 November 2024. ANTARA FOTO/Alif Bintang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan produksi crude palm oil (CPO) harus terus ditingkatkan untuk mendukung program pengembangan biodiesel 40 dan 50 yang akan diluncurkan tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Persiapan B50, kajiannya sudah dimulai. Kalau B40 ini sedang menunggu hasil uji total seluruhnya untuk alat-alat transportasi," katanya dalam acara Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik kepada 12 Instansi Terkait Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, di Kantor Ombudsman RI, Senin, 18 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eniya mengklaim saat ini telah melakukan pengujian B40 ke berbagai alat transportasi, sehingga ia optimis B40 dapat diwajibkan pada Januari 2025. Sementara untuk B50, Eniya mengatakan selain memastikan stok CPO yang cukup, juga harus membuktikan peremajaan kebun sawit berjalan dengan baik. "Kalau kita mau memandatory-kan B50 ke depannya, misalnya kepastian kebutuhan CPO-nya," kata Eniya.

Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, memaparkan, program biodiesel memang bergantung pada produksi CPO sebagai bahan baku dan pungutan ekspor untuk membiayai insentif biodiesel. Namun akibat kebijakan tarif ekspor yang tidak seragam dari pemerintah, program biodiesel ini dapat terhambat.

Ia menyebut, potongan ekspor untuk CPO lebih tinggi dibandingkan dengan palm oil mill effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit. Hal ini mendorong terjadinya ekspor berlebihan untuk produk POME, yang pada gilirannya berpotensi mengurangi dana sawit dari pungutan ekspor produk kelapa sawit."Tidak optimalnya perolehan dana sawit ini berpengaruh dalam pengelolaan dana sawit pada konteks program biodiesel," katanya dalam acara yang sama.

Selanjutnya, kondisi ini diperparah oleh pemerintah yang belum mampu berperan sebagai penentu harga CPO di pasar global. Menurut Yeka, kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menciptakan stabilitas harga tandan buah segar atau TBS di pasar domestik, yang sangat penting bagi petani sawit dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. "Pengembangan industri biodiesel sangat tergantung pada keberhasilan membangun perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan," tuturnya.

Yeka menambahkan, dalam perdagangan internasional, kebijakan tarif ekspor yang tidak seragam antara CPO dan POME, ditambah pengawasan yang minim, membuka peluang manipulasi penggolongan komoditas ekspor untuk menghindari tarif tinggi. Hal ini menyebabkan praktik ilegal yang mengurangi transparansi, merugikan negara, dan mengurangi penerimaan dana sawit.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus