Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang modal mencapai US$ 1,97 miliar pada Juli lalu atau naik 10,82 persen dibanding bulan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan kenaikan impor barang modal ditopang oleh permintaan mesin pengeboran, kapal dengan bobot 5.000-50.000 gross tonnage (GT), hingga mesin pembangkit listrik. "Dengan peningkatan impor barang modal ini kami berharap investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) di triwulan ketiga membaik," ujar dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan barang modal, BPS mencatat impor bahan baku turun 2,5 persen. Penurunan impor terjadi pada gula mentah dari Brasil, biji gandum dari Kanada, tepung kedelai dari Brasil, dan susu dari Amerika Serikat. Suhariyanto mengatakan penurunan impor bahan baku berpengaruh kepada aktivitas industri manufaktur. “Ini mesti diwaspadai,” ujar dia. Pada Januari-Juli 2020, impor bahan baku turun 17,99 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan peningkatan impor barang modal sejalan dengan aktivitas industri yang mulai meningkat. Menurut dia, hal ini terlihat dari indikator Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang terus meningkat. Data IHS Markit menyebutkan PMI Indonesia pada Juni-Juli lalu naik dari 39,1 menjadi 46,9. Meski naik, PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas industri masih berada di area kontraksi atau melemah.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan dampak kenaikan impor barang modal pada investasi dan kinerja industri belum akan terasa dalam waktu dekat. "Ada time lag, kinerjanya mungkin terlihat dalam tiga bulan ke depan," ujar dia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan impor barang modal dan bahan penolong masih cenderung lemah jika dibanding pada tahun lalu. Hal ini, kata dia, menunjukkan masih tertekannya aktivitas industri manufaktur. "Pelaku industri tidak mau mengambil risiko untuk meningkatkan produksi karena peningkatan permintaan tidak cukup signifikan. Baik di pasar domestik maupun ekspor," katanya.
Shinta menyoroti impor barang modal yang turun 29,25 persen jika dibanding pada Juli 2019. Nilai impor bahan baku pun turun 34,46 persen secara tahunan. Menurut dia, masih lemahnya permintaan barang modal menyebabkan pemulihan ekonomi nasional berjalan lambat. Shinta pun berharap investasi di sektor industri akan lebih lancar menjelang akhir tahun. "Ini terjadi jika didorong oleh perubahan iklim usaha," kata dia.
LARISSA HUDA
22
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo