Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kepepet Dikejar Target

Tiga bulan menjelang tenggat, 25 bank kecil belum memenuhi target modal minimum Rp 80 miliar. Harganya terlalu mahal.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESONA itu datang dari sebuah kantor berdinding kusam dan tak terawat di kawasan pecinan di Jalan KH Moch. Mansyur, Jembatan Lima, Jakarta Barat. Di sanalah sebuah bank kecil berkantor. Modalnya cuma Rp 11 miliar dengan total aset hanya Rp 20 miliar per Desember tahun lalu.

Jika tak ada papan nama Bank Alfindo, orang tak akan menyangka bahwa gedung tiga lantai itu adalah kantor pusat sebuah bank. Lantai satu kosong melompong dengan satu meja dan satu kursi berdebu. Kehidupan cuma terlihat di lantai dua dan tiga. Itu pun sangat sepi. Petugas teller bank itu cuma seorang. Tak ada antrean nasabah seperti di kantor bank umumnya.

Namun, siapa sangka bank sekecil itu menyimpan daya tarik. Alfindo ternyata ibarat gadis mungil yang rupawan. Di balik kekusaman gedungnya, Alfindo diperebutkan sejumlah peminat. ”Saya dengar ada investor dari Aceh yang tertarik,” ujar Sandy Rondonuwu, costumer service bank itu, kepada Tempo pekan lalu.

Sumber di Bank Indonesia memperjelas cerita Sandy. Menurut sumber itu, selain oleh Pemda Aceh Utara, Alfindo juga diincar oleh perusahaan sekuritas hingga investor jauh dari Negeri Sakura. Mereka tertarik karena bank ini cukup sehat. Kredit seret (NPL) nol persen dan rasio kecukupan modalnya (CAR) 115 persen. Sayangnya, sampai saat ini belum ada satu pun peminat yang nyantol. ”Harga jualnya kelewat tinggi,” ujarnya.

Alotnya pemilik Alfindo melepas banknya cukup mengherankan bagi bank sentral. Sebab, bank ini dikejar tenggat. Waktunya tinggal tiga bulan bagi Alfindo untuk segera memutuskan. Sebab, modalnya jauh di bawah aturan Bank Indonesia yang harus mencapai Rp 80 miliar pada akhir Desember ini. Jika tidak bisa penuhi, mereka akan turun kasta menjadi bank fokus, bank perkreditan rakyat, atau dilikuidasi.

Alfindo tak sendiri. Masih ada 24 bank lainnya yang harus berkejaran dengan waktu untuk memenuhi aturan modal minimum. ”Dari jumlah itu, 14 bank akan bakal kesulitan memenuhi ketentuan tersebut,” kata Agus Sugiharto, ketua tim arsitektur perbankan Bank Indonesia. ”Sekitar 6-8 bank bakal diakuisisi bank lain.”

Pemilik belasan bank bermodal cekak itu memang sedang kebingungan. Apalagi BI mulai kehilangan kesabaran setelah memberikan waktu lebih dari tiga tahun. Para pemilik bank ini rupanya cuma bisa berwacana dan dinilai meremehkan kebijakan konsolidasi perbankan yang sudah dicanangkan sejak 2004 itu. Padahal BI memproyeksikan pada 2010 jumlah bank akan berkurang menjadi 70-80 bank dari 130 bank yang ada sekarang. Sebelum krisis, jumlah bank lebih banyak lagi, yakni 240-an bank.

Karena itu BI sebagai otoritas pengawas bank mulai bersikap tegas. Bank sentral tak mau lagi menunggu proposal mereka sampai Desember. ”Pada September ini sudah harus jelas, apa rencana mereka untuk memenuhi modal minimum itu,” ujar seorang pejabat BI. ”Beberapa pemilik bank berulang kali kami panggil sehubungan dengan komitmennya.”

Itulah sebabnya kini pemilik bank kecil menjadi kalang-kabut. Beberapa di antaranya cukup agresif mendatangi calon investor. Salah satu investor yang kerap didatangi adalah keluarga Eka Tjipta Widjaja, pemilik Bank Sinar Mas. ”Ada beberapa pemilik yang menawarkan banknya ke Grup Sinar Mas,” ujar Komisaris Bank Sinar Mas, Antonius Napitupulu, pekan lalu.

Namun Sinar Mas belum terpikat. Sebab, kata Antonius, harga yang ditawarkan terlampau mahal, yakni tiga hingga empat kali dari nilai buku bank. Katakanlah modal disetor pemilik bank Rp 30 miliar. Maka, pemilik bank menjualnya dengan harga Rp 90-120 miliar. Padahal si pembeli mesti menyuntik modal lagi minimal Rp 50 miliar agar memenuhi aturan BI. ”Harga yang wajar untuk bank kecil itu, 1-2 kali nilai buku,” kata Antonius.

Tawaran mahal dari para pemilik bank mini itu dirasakan benar oleh para calon investor dan pejabat bank sentral. Namun mereka mengakui ada beberapa alasan mengapa para pemilik bank itu mematok harga tinggi. Pertama, bank kecil ini umumnya tergolong sehat. Meski secara nominal modal kecil, CAR-nya tinggi, NPL rendah, dan pengelolaannya cukup hati-hati. ”Hampir tak ada yang masuk perawatan khusus,” kata Agus.

Alasan lain yang tak kalah penting berhubungan dengan kultur Chinese para pemilik bank. Di kalangan keluarga Tionghoa, memiliki bank merupakan reputasi dan harga diri tersendiri. Apalagi mereka telah membangunnya dari awal, kemudian bekerja keras membesarkan bank ini. Sekarang tiba-tiba mereka harus melepasnya karena tak kuat menyuntikkan modal. ”Itu yang berat,” kata Direktur Perizinan BI, Yang Ahmad Rizal.

Meski begitu, tidak berarti semua pemilik bank kecil tak kuat menyuntik modal atau bahkan enggan menjual ”aset kebanggaan” mereka. Dari puluhan bank kecil, sebagian bersedia menambah modal. Bank IFI dan Bank Ina Perdana adalah beberapa contohnya.

Menurut Direktur Utama Bank IFI, Bambang Arianto, pada Juni lalu pemilik sudah menyetorkan dana sehingga modal bank ini naik menjadi Rp 85 miliar. ”Pada September ini akan setor lagi menjadi Rp 100-115 miliar,” katanya. Sedangkan Bank Ina Perdana disuntik oleh PT Kharisma Prima Karya, pemilik lama bank ini.

Adapun sebagian pemilik bank lainnya lebih memilih dipinang oleh bank yang memiliki modal lebih besar. Contohnya Bank Jasa Arta, Bank Bintang Manunggal, Bank Windu Kentjana, Bank Harmoni, dan Bank Swaguna.

Bank Jasa Arta sudah diselamatkan oleh BRI. Bank bermodal Rp 34 miliar ini diakuisisi oleh bank BUMN tersebut dengan harga Rp 61 miliar atau 1,9 kali nilai buku. ”Kami memilih Jasa Arta dari 20 bank kecil yang masuk nominasi,” kata Direktur Utama BRI Sofyan Basir pekan lalu. Rencananya, bank ini akan diubah menjadi BRI syariah.

Beberapa bank lainnya juga sukses menggaet investor. Bank Swaguna diambil alih oleh Bank Victoria yang bermodal Rp 302 miliar. Bank Harmoni dibeli oleh Bank Index Selindo. Sedangkan Bank Windu Kentjana disunting Bank Multicor, yang memiliki modal Rp 149 miliar.

Dalam proposalnya ke bank sentral, beberapa bank tersebut bukan sekadar melakukan akuisisi. Selanjutnya, mereka akan bergabung. Tujuannya meningkatkan skala ekonomi perusahaan agar bisa bersaing di level yang lebih besar. ”Dengan modal lebih besar, mereka bisa lebih efisien dan lebih mudah memperluas pasar,” kata Agus.

Beberapa bank lainnya malah dibeli oleh bank besar dari mancanegara. Sebut saja Bank Bintang Manunggal, yang diakuisisi Hana Bank dari Korea Selatan. Hana Bank adalah bank terbesar keempat di Negeri Ginseng dengan total aset US$ 128 miliar atau Rp 1.200 triliun pada akhir tahun lalu. Rencananya, Hana Bank akan mendongkrak modal Bintang Manunggal dari Rp 34 miliar menjadi Rp 150 miliar.

Masuknya Hana Bank ke Tanah Air tentu saja menambah daftar bank raksasa dunia yang baru saja membeli bank kecil di sini. Sebelumnya ada Bank of India, bank terbesar asal India, yang membeli Bank Indomonex dan Bank Swadesi. Lantas, ada bank terbesar dari Cina, Industrial & Commercial Bank of China, yang menguasai Bank Halim di Surabaya. Juga, bank terbesar dari Jepang, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd., yang mengakuisisi Bank Nusantara Parahyangan di Bandung.

Ada beberapa alasan mengapa bank kelas dunia itu tertarik membidik bank kecil di sini. Pertama, Indonesia memiliki potensi pasar yang besar dengan jumlah penduduk 232 juta jiwa. Kedua, mereka ingin berekspansi ke negara yang sedang tumbuh. Ketiga, margin bunga bersih (NIM) bank-bank di Indonesia tertinggi di dunia, yakni di kisaran 4-6 persen. ”Di negara lain seperti Singapura atau Malaysia, NIM-nya lebih rendah,” kata Gottfried Tampubolon, Direktur Bank Lippo.

Atas dasar itu, minat investor asing terhadap bank kecil di Indonesia masih cukup tinggi. Buktinya, selain yang sudah disebutkan, masih ada investor dari negara lain yang tertarik, seperti dari Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Eropa, dan Amerika. Menurut Agus, mereka saat ini dalam status mengulur waktu sampai bank-bank kecil itu benar-benar kepepet menjelang Desember nanti. Pada saatnya nanti, bank-bank ini akan dicaplok.

Heri Susanto


Bank yang Diakuisisi Tahun ini

Bank Swadesi Pembeli: Bank of India (India)

Bank Halim Indonesia Pembeli: ICBC (Cina)

Bank Nusantara Parahyangan Pembeli: Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (Jepang)

Bank Arta Niaga Kencana Pembeli: Commonwealth Bank (Australia)

Bank Bintang Manunggal Pembeli: Hana Bank (Korea Selatan)

BTPN Pembeli: TPG Nusantara Luxemburg (Amerika)

Bank Jasa Arta Pembeli: BRI

Bank Harmoni Pembeli: Bank Index Selindo

Bank Swaguna Pembeli: Bank Victoria

Bank Windu Kentjana Pembeli: Bank Multicor

Bank Persyarikatan Indonesia Pembeli: Bank Bukopin (Rencana)

Bank Finconesia Pembeli: PT Dian Intan Perkasa (Grup Charoen Pokphand)

Bank Purba Danarta Pembeli: PT Tri Putra Persada Rahmat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus