Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI New York, ketegangan itu menjalar ke seantero dunia. Kamis pekan lalu, harga minyak mentah di pusat perdagangan minyak mentah dunia itu menembus US$ 80 per barel, tertinggi dalam 26 tahun terakhir. Harga ini memang belum menyentuh rekor harga sepanjang sejarah pada awal 1980—sekarang setara US$ 102. Namun banyak pihak khawatir, ini adalah awal dari sebuah tren kenaikan harga yang berkelanjutan.
Kenaikan ini tentu saja sangat mengagetkan. Sebab, dua hari sebelumnya, di Wina, Austria, negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC sepakat menambah produksi 500 ribu barel per hari dari kuota sebelumnya 25,8 juta barel per hari. Ternyata kesepakatan itu tidak mampu mengerem laju kenaikan harga.
Pengamat perminyakan Kurtubi menilai kenaikan produksi OPEC itu sangat kecil dan tidak signifikan dibandingkan dengan permintaan. Saat ini permintaan dunia akan minyak mentah terus meningkat, terutama dari Cina dan India. Sebaliknya, pasokan sangat terbatas. Hal itu dengan jelas terlihat pada harga minyak dalam tiga pekan terakhir yang naik 13 persen.
Kecilnya penambahan produksi oleh OPEC memang bukan satu-satunya penyebab kenaikan kali ini. Anjloknya cadangan minyak Amerika Serikat, dua pekan lalu, yang melebihi ekspektasi, dan badai Humberto di Teluk Meksiko, turut memicu kenaikan harga. Di samping itu, tidak lama lagi belahan bumi utara akan memasuki musim dingin. ”Harga akan susah turun, bahkan bisa merayap melebihi US$ 80 per barel,” ujar Kurtubi.
Kondisi ini tentu bakal menyusahkan Indonesia. Paling tidak, bahaya akan mengancam sektor industri, juga para pengguna pertamax dan pertamax plus. Selama ini industri membeli bahan bakar minyak berdasarkan harga pasar internasional di Singapura. ”Jelas, pihak industri atau pemakai BBM nonsubsidi akan terpukul, termasuk PLN yang pembangkitnya menggunakan BBM,” katanya.
Bahkan, jika berkepanjangan, kenaikan harga minyak ini bisa menyebabkan harga barang akan naik. Pengusaha tentu akan membebankan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini pada harga jualnya. Ujung-ujungnya, inflasi juga naik. Sialnya, kondisi terjadi ketika Indonesia sedang menghadapi puasa dan Lebaran, ketika harga-harga cenderung naik. Biasanya, angka inflasi pada periode itu sudah tinggi.
Indonesia, kata Kurtubi, tak bisa menghindar dari kemungkinan kenaikan ini, karena selama ini masih mengimpor minyak 700 ribu barel per hari. Produksi minyak mentah Indonesia yang 900 ribu-1 juta barel per hari memang tidak semuanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”Harga BBM Oktober nanti pasti naik,” katanya.
Pertamina memang sudah memberikan isyarat tentang kemungkinan kenaikan harga BBM nonsubsidi. Deputi Direktur Pemasaran PT Pertamina, Hanung Budia, mengatakan jika harga tetap pada level US$ 80 per barel hingga Oktober mendatang, harga BBM nonsubsidi akan naik. Tapi Hanung belum dapat memastikan berapa kenaikannya. ”Harganya juga bergantung pada faktor lain seperti kurs rupiah,” katanya.
Kenaikan harga minyak mentah ini sebetulnya merupakan pembalikan dari tren penurunan harga yang berlangsung sepanjang Juli hingga pertengahan Agustus lalu (lihat grafik). Hal yang sama bisa dilihat dari harga BBM nonsubsidi seperti pertamax, yang pada September ini turun dibandingkan Agustus. Hanya, gejolak harga yang terjadi mulai akhir Agustus lalu ternyata terus berlanjut hingga kini.
Jika terus bertahan, masalah lain akan menghadang Indonesia. Defisit anggaran yang sekarang 1,1 persen dari PDB (Rp 40,5 triliun) diperkirakan bakal melonjak. Bahkan, tanpa menghitung dampak kenaikan harga minyak pun, pemerintah sudah memperkirakan defisit bakal naik sampai 1,8 persen. Kenaikan harga minyak ini bisa menambah defisit lebih tinggi lagi. Menurut Kurtubi, setiap harga minyak mentah naik US$ 1 per barel, defisit anggaran akan naik Rp 500 miliar-Rp 1 triliun.
Sunariah, Gunanto E.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo