Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kepincut Buah Investasi Lokal

Dua raksasa investasi Amerika berebut lahan bisnis di Indonesia. Texas Pacific mengincar Garuda dan BTPN.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada mesin pendingin di ruang itu. Luasnya pun cuma sekitar 16 meter persegi. Sebuah meja rapat dengan delapan kursi berebut tempat di sana. Tapi, siapa sangka, di ruang ”sederhana” di salah satu gedung perkantoran di jantung kota Shenzhen, Cina, ini Direktur Keuangan Shenzhen Development Bank Co. Ltd. (SDB), Bomin Wang, bertakhta.

Dengan aset sekitar Rp 280 triliun, SDB kini merupakan salah satu dari 10 bank terbesar di Cina—lebih besar dari Bank Mandiri yang beraset Rp 240 triliun. Padahal, tiga tahun lalu, kinerjanya masih belepotan. Modalnya cekak, miskin laba, dan terbelit urusan kredit macet dalam jumlah jumbo.

Sebab itulah, sebutan bank daerah berkinerja buruk kerap disematkan kepadanya. Kasus penyelewengan kredit, termasuk pemberian pinjaman ke pihak-pihak yang masih punya kaitan dengan bank itu pun bukan barang langka. ”Namun, perubahan besar terjadi setelah direksi baru masuk,” kata Huang Ying, juru bicara SDB, di kantornya pada akhir April lalu.

Pemilik baru yang dimaksud Huang tak lain adalah Newbridge Capital. Setelah berhasil membeli 18 persen saham SDB dari pemerintah Cina senilai Rp 1,4 triliun pada 2004, perusahaan investasi asal Amerika Serikat ini langsung menggebrak.

Manajemen bank dirombak. Gerakan ”mengencangkan ikat pinggang” dilancarkan. Filosofinya: aset boleh segunung, tapi sikap hemat harus dijunjung. Itu sebabnya, ruang seorang direktur keuangan dibuat tak cukup mentereng. Selain meja rapat, hanya ada sebuah meja kerja, papan tulis, lemari buku, plus kipas angin made in Cina di sana.

Semua usaha itu tak sia-sia. Hanya dalam jangka waktu dua tahun, rasio kredit bermasalah (NPL) SDB bisa dipangkas dari 11,3 persen menjadi 7,9 persen. Labanya pun melonjak empat kali lipat menjadi Rp 1,5 triliun. Akibatnya, nilai saham yang dikantongi Newbridge ikut meroket enam kali lipat menjadi Rp 6,8 triliun.

Newbridge merupakan anak usaha Texas Pacific Group (TPG). Berpusat di Texas, TPG mengelola dana investasi sekitar US$ 14 miliar (Rp 126 triliun), yang dibiakkannya di Amerika, Asia, dan Eropa. Perusahaan komputer Lenovo (Cina), Burger King, dan perusahaan retail dunia Debenhams termasuk salah satu lahan investasinya.

Kini TPG sudah berancang-ancang menebar jaring investasinya ke Indonesia lewat Northstar Pacific yang dipimpin Patrick Walujo. Bos TPG, David Bonderman, bahkan sudah menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akhir tahun lalu. ”Kami menyiapkan dana US$ 500 juta hingga US$ 2 miliar untuk investasi di Indonesia,” kata Ashish Shastry, Direktur Pelaksana TPG Capital Pte. Ltd., cabang TPG untuk kawasan Asia Tenggara, akhir bulan lalu.

Perusahaan yang dibidik di antaranya bergerak di bisnis sumber daya alam, energi, perkebunan, jasa keuangan, dan penerbangan. PT Garuda Indonesia dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) termasuk yang sudah masuk daftarnya. ”Kami bisa membenahi Garuda karena berpengalaman menyehatkan Continental Airlines,” kata Ashish.

Di sektor keuangan, Direktur Pelaksana Divisi Keuangan TPG untuk Asia, Daniel Poon, melihat potensi pasar Indonesia menjanjikan karena masih terbatasnya akses masyarakat ke perbankan. Itu sebabnya, kata sumber Tempo, TPG getol mengincar sejumlah bank kecil, termasuk BTPN.

Peluang itu kini terbuka lebar setelah Recapital Advisors, salah satu pemilik saham BTPN, memberi sinyal bakal melepas kepemilikannya. ”Kami akan jual BTPN karena bank itu butuh modal besar,” ujar Presiden Direktur Recapital, Rosan P. Roeslani, pekan lalu.

Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya sudah cukup lama TPG ngebet untuk masuk ke bisnis perbankan di Indonesia. Niat itu muncul ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional menggelar lelang 51 persen saham Bank Central Asia (BCA) pada 2002. Saat itu, Newbridge Capital yang maju dalam ajang tender. Namun, langkahnya terhenti setelah kalah bersaing dengan FarIndo Investment dalam pengajuan harga pembelian.

FarIndo merupakan konsorsium bentukan perusahaan rokok Grup Djarum dan Farallon Capital Management (AS). Di jagat investasi global, Farallon dikenal sebagai salah satu jawara hedge fund, pengelola dana investasi jangka pendek.

Berkat keberhasilannya, Farallon baru saja menikmati ”manisnya” buah investasi di BCA. Tahun lalu, 90 persen kepemilikan sahamnya di FarIndo dijualnya ke Djarum senilai US$ 2,2 miliar. Padahal, uang yang digelontorkannya saat pembelian cuma sekitar US$ 500 juta. Dari transaksi itu, Farallon ditaksir meraup untung US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 15,3 triliun.

Siapa yang tidak tergiur? Jadi, wajar saja jika TPG pun kini kepincut buah investasi lokal.

Heri Susanto (Shenzhen)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus