Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERIKSAAN itu berlangsung serentak. Tersebar di sejumlah ruangan di kantor Direktorat Jenderal Pajak di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, belasan petinggi dan staf Asian Agri Group dicecar dengan sederet pertanyaan.
Pokok persoalan yang ditanyakan oleh tim pemeriksa adalah seputar dugaan berbagai praktek manipulasi pajak oleh unit bisnis Raja Garuda Mas (RGM) milik taipan Sukanto Tanoto. Sadar bahwa medan perang yang dihadapi tak enteng, belasan pengacara disewa Asian Agri yang khusus didatangkan dari Medan untuk mendampingi mereka ”bertempur” di Ibu Kota.
”Setiap orang dikawal oleh dua lawyer ahli di bidang perpajakan dan urusan hukum,” kata sumber Tempo di Direktorat Pajak. Rombongan besar ini sudah beberapa kali bolak-balik Medan-Jakarta sejak pemeriksaan mulai digelar pada Februari lalu.
Dari jawaban yang diberikan, menurut sumber tadi, persiapan matang tampaknya sudah dilakukan, kendati salah seorang saksi wanita sempat semaput akibat stres. Terbukti, meski mereka diperiksa di ruang terpisah, jawaban di akhir sesi tanya-jawab seragam: Vincentius Amin Sutantolah yang bertanggung jawab atas semua praktek manipulasi pajak itu.
Vincent memang punya jabatan penting di Asian Agri. Di kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok RGM ini, ia menjabat sebagai group financial controller, yang kewenangannya mencakup pengawasan di bidang legal, informasi teknologi, akunting, dan keuangan.
Tapi, bukan itu sejatinya yang membuat lelaki kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, 43 tahun silam, ini harus menanggung semua beban. Ia disudutkan oleh perusahaan dan teman-temannya lantaran di akhir tahun lalu ia nekat membongkar aib perusahaannya yang diduga memanipulasi pembayaran pajak selama bertahun-tahun.
Sekadar mengingatkan, pada akhir tahun lalu Vincent mengadukan persoalan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi setelah ia bersama rekan dan adiknya gagal membobol rekening Asian Agri di Bank Fortis, Singapura, senilai US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar).
Baru Rp 200 juta uang dari Bank Fortis dicairkan di Bank Panin cabang Lindeteves, Jakarta, aksinya keburu tercium pihak perusahaan. Dalam pelarian ke Singapura, Vincent sempat memohon ampun kepada Sukanto, tapi tak dikabulkan. Karena itulah, ia mengadukan aib perusahaan ke KPK.
Vincent kini mendekam di rumah tahanan Salemba, Jakarta. Dalam sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 3 Mei lalu, ia didakwa jaksa penuntut umum Supardi B.P. Marbun telah melakukan penggelapan dan pencucian uang milik Asian Agri Oil and Fats Ltd.
Namun, kuasa hukum Vincent, Petrus Balla Pattyona, balik mempertanyakan. ”Bagaimana Vincent bisa dituding terkait pencucian uang kalau induk kejahatannya, yakni penggelapan pajak (oleh Asian Agri), tidak diusut,” ujarnya kepada Fery Firmansyah dari Tempo.
Dalam laporannya ke KPK, Vincent menyebutkan, Asian Agri selama bertahun-tahun melakukan manipulasi pajak lewat transfer profit ke sejumlah perusahaan afiliasi di luar negeri, seperti Hong Kong, British Virgin Islands, Makao, dan Mauritius. Setidaknya ada tiga modus yang dilakukan: pembuatan biaya fiktif, transaksi hedging fiktif, dan transfer pricing (Tempo, 21 Januari 2007).
Jika ditotal sejak 2001 saja, jumlah pajak penghasilan (PPh) badan yang tak disetor Asian Agri ke kas negara ditaksir mencapai Rp 1,1 triliun. Jika ini benar, tentu sangat ironis. Sebab, menurut versi majalah Forbes, Sukanto adalah orang terkaya di Indonesia pada 2006 dengan total kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (Rp 25,5 triliun).
Dalam wawancara dengan kantor berita Reuters pekan lalu, Sukanto bahkan menyebutkan, RGM International sudah memulai langkah ekspansi bisnisnya senilai US$ 4 miliar (Rp 36,4 triliun) di Indonesia, Brasil, dan Cina. Diharapkan pada 2009 nanti kapasitas bisnisnya di bidang kertas dan bubur kertas, minyak kelapa sawit, energi, dan lainnya meningkat hingga 70 persen. ”Minyak sawit seperti emas hijau sekarang ini,” ujarnya.
Untuk menelusuri kasus itulah, Direktorat Pajak dengan bantuan KPK membentuk tim gabungan investigasi. Tim ini, pertengahan Januari lalu, telah menggerebek dua kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta. Sayang, pihak Asian Agri keburu memindahkan dan menyembunyikan sebagian besar dokumen penting perusahaan. Karena dinilai tak kooperatif, kata sumber Tempo, ”Pemeriksaan ditingkatkan dari penyelidikan ke tahap penyidikan.”
Lama tak terdengar kabar beritanya, Senin pekan lalu Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mulai angkat bicara. Menurut dia, dari hasil penyidikan telah ditemukan bukti-bukti adanya dugaan penggelapan pajak. ”Dalam waktu dekat akan kami umumkan,” ujarnya setelah menemui pimpinan KPK di Jakarta.
Namun, ia masih mengunci rapat-rapat hasil penyidikan itu. Ketika ditanya apakah dalam kasus ini terkandung unsur korupsi dan keterlibatan aparat pajak, Darmin enggan mengomentari. ”Nanti kita lihatlah,” ujarnya. ”Pokoknya, perkembangannya menarik.”
Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak, Mohammad Tjiptardjo, mengungkapkan, temuan yang didapat sejauh ini baru sebatas dugaan tindak pidana penggelapan pajak, bukan korupsi. ”Kami sudah menemukan bukti awal yang kuat, sekarang sedang tahap finalisasi,” ujarnya. Sedangkan soal pertemuannya dengan KPK, ia menjelaskan, hanya untuk berkoordinasi. ”Ini bagian dari nota kesepahaman dengan KPK.”
Dalam pertemuan itu, selain Darmin dan Tjiptardjo, hadir tiga pimpinan teras KPK, yaitu Ketua Taufiequrachman Ruki, Wakil Ketua Erry Riyana Hardjapamekas, dan Amien Sunaryadi.
Sejumlah kalangan sempat mempertanyakan lambannya pengusutan kasus ini oleh tim investigasi gabungan. Di Medan, aksi demonstrasi mahasiswa sempat merebak meminta pemerintah segera memenuhi janjinya untuk mengusut tuntas kasus ini.
Tuntutan serupa datang dari Forum Gerakan Anti Manipulasi dan Penyelewengan Pajak Negara. Kepada koran Posmetro (Medan), Bermand Hutapea, koordinator aksi Forum, pada 27 Maret lalu mengancam akan menggelar aksi jika kasus ini tak serius diusut.
Indikasi manipulasi pajak ini, kata Bermand, merugikan negara dalam jumlah besar-besaran. ”Jadi, aparat penegak hukum jangan diam. Ini tak bisa dibiarkan,” ujarnya geram. Ia juga mengingatkan bahwa sikap lembek pemerintah akan mencoreng wajah hukum di negeri ini.
Sumber Tempo di tim pajak mengakui lambannya pemeriksaan, tapi ia menyangkal hal ini disebabkan oleh ketidakseriusan pemerintah. ”Untuk mengusut tuntas kasus ini, hampir semua sumber daya di tim pemeriksa pajak bahkan dikerahkan ke sini,” ujarnya. Sebuah tempat khusus disewa untuk menjadi ”markas” tim pemeriksa.
Faktor keterlambatan juga dipengaruhi oleh reorganisasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak. Kasus Asian Agri yang semula ditangani oleh tim dari Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak, sejak Februari lalu dialihkan ke Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang baru dibentuk.
Di luar faktor-faktor itu, keterlambatan juga disebabkan perluasan cakupan penyidikan. ”Semula cuma delapan perusahaan yang diperiksa. Kini menjadi 15,” ujar salah seorang anggota tim pemeriksa.
Itu sebabnya, jumlah tim pemeriksa membengkak dari semula yang cuma 30 orang, meskipun orang yang diperiksa ya itu-itu juga. ”Yang paling sering mondar-mandir ke sini Pak Eddy Lukas (Direktur Korporasi Asian Agri) dan Suwir Laut (Manajer Bidang Pajak),” ujarnya.
Rudy Victor Sinaga, Corporate Communication Manager Asian Agri, membenarkan bahwa Eddy dan Suwir telah diperiksa bolak-balik oleh tim pajak. ”Keduanya selalu memenuhi panggilan,” ujarnya. ”Masing-masing lebih dari dua kali.” Ia juga menegaskan, pihak Asian Agri selalu kooperatif menyuplai data-data yang dibutuhkan.
Soal lontaran terbaru Dirjen Pajak, Rudy tak terlalu ambil pusing. Kalau memang hasil penyidikan sudah rampung, ”Ya, kita tunggu saja hasilnya,” katanya. ”Kami sih oke-oke saja. Lebih cepat, lebih bagus.”
Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo