Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH panggilan masuk ke telepon seluler Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus. Di balik telepon, suara Budi Prasetyo, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing, anak buah Haniv, terdengar. Dia meminta saran untuk ihwal yang genting. Malam menjelang tahun baru itu, ada perkembangan signifikan dalam kasus sengketa pajak Google Asia-Pacific Pte Ltd yang sedang mereka tangani.
Budi menelepon Haniv karena mendapat kabar Google bersedia menyetor beberapa ratus miliar rupiah ke rekening negara sebelum akhir tahun. Namun perusahaan raksasa digital asal Silicon Valley, Amerika Serikat, itu menyodorkan beberapa syarat. Budi tak bisa langsung menyetujui. Ia perlu meminta restu Haniv sebagai atasannya.
Lewat dua hari, Haniv memutuskan menolak permintaan Google. Beberapa jam sebelum tenggat, penolakan serupa ia sampaikan kepada Budi, yang menelepon menanyakan hal serupa. Rencana Google untuk menyelesaikan sengketa pajak mereka dengan pemerintah Indonesia pada akhir tahun lalu pun buyar. "Pajak ada aturannya, bukan tawar-menawar seperti pasar," kata Haniv kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Sikap keras Haniv merujuk pada ketegasan atasannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada awal Desember lalu, Sri Mulyani secara terbuka bertemu dengan perwakilan kantor pusat Google tapi menolak bernegosiasi. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menegaskan bahwa pertemuan Direktorat Jenderal Pajak dengan Google adalah sebatas pengumpulan data keuangan untuk membuat perhitungan pajak, bukan tawar-menawar. "Anda punya bisnis dan menciptakan valuasi di sini, maka ada value economy yang muncul. Indonesia perlu mendapatkan haknya. Itu prinsipnya," katanya di Jakarta pada pertengahan Desember lalu.
Budi tak membantah ada lobi Google kepadanya pada malam tahun baru lalu. Namun ia menolak memberi penjelasan. "Silakan tanya ke kantor pusat," ujarnya. Adapun Google belum bisa dimintai tanggapan mengenai lobi-lobinya kepada Direktorat Jenderal Pajak. Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana tidak menjawab pesan dan panggilan Tempo.
Haniv memang getol mengejar pajak Google. Menurut dia, pemerintah harus mulai menelisik pajak Google karena Google Asia-Pacific Pte Ltd, yang berkantor di Singapura, tidak pernah membayar pajak di Indonesia sejak lima tahun lalu, meski transaksinya berkaitan dengan entitas bisnis Indonesia. Hanya kantornya di sini, PT Google Indonesia, yang tercatat memiliki nomor pokok wajib pajak. "Kami memang berusaha agar Google membayar pajak pada akhir tahun lalu," ujar Haniv.
UPAYA memungut pajak Google bukan perkara mudah. Direktorat Jenderal Pajak mulai mengejar pajak babon Google sejak 4 April tahun lalu. Langkah Ditjen Pajak ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Melalui Internet (over the top/OTT), yang terbit pada akhir Maret lalu. Layanan aplikasi dan konten melalui Internet yang dimaksud di antaranya Google, Facebook, percakapan online (chatting), dan situs belanja online.
Dalam aturan itu, penyedia layanan OTT wajib mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dan mematuhi segala peraturan, termasuk soal perpajakan. Berdasarkan itulah Ditjen Pajak yakin betul Google Asia-Pacific Pte Ltd menjalankan praktek usaha yang memenuhi kategori BUT. Keyakinan Haniv bertambah tebal setelah penyidik pajak mengklaim mengantongi bukti berupa keberadaan sejumlah server dan perangkat teknologi Google di kantor-kantor perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Perangkat inilah yang dianggap sebagai kunci menarget Google Asia-Pacific. "Ini menguatkan Google sebagai BUT," ujar Haniv.
Setelah menetapkannya sebagai BUT, Ditjen Pajak mengirimkan surat yang ditujukan kepada Google Asia-Pacific dengan alamat PT Google Indonesia di Senayan, Jakarta Selatan. Namun Google mengembalikan surat itu dua bulan kemudian. Menurut Haniv, pengembalian surat itu karena Google menganggap surat mereka salah sasaran dan tujuan. "Google Indonesia mengaku tidak memiliki dokumen yang kami minta."
Sebulan kemudian, penyidik pajak mengirim surat panggilan kepada manajemen Google Asia-Pacific. Lagi-lagi Google menolak. Para pejabat di Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus mulai gerah menghadapi Google, yang dianggap membandel. Seorang penyidik menilai penolakan terhadap pemeriksaan sudah bisa dimasukkan sebagai kategori pidana. Bahkan ada pembicaraan untuk menjadikan penolakan Google sebagai alasan meningkatkan kasus ini ke tahap pemeriksaan bukti permulaan. Belakangan, ada kabar Google mengirimkan laporan keuangan mereka yang sudah diaudit kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mendukung upaya Ditjen Pajak. Sebagai mantan eksekutif di industri telekomunikasi, Menteri Rudiantara paham betul seluk-beluk bisnis OTT. Dia mengiyakan prediksi data pendapatan Google Asia-Pacific di Indonesia yang mencapai sekitar Rp 6 triliun per tahun. Jumlah ini lebih dari 50 persen pendapatan total penyedia layanan aplikasi dan konten melalui Internet (OTT) di Indonesia. Dua tahun lalu, total pendapatan Google di seluruh dunia mencapai US$ 75 miliar atau hampir Rp 1.000 triliun.
Rudiantara tidak mau mengelaborasi metode penghitungan pendapatan Google itu. Menurut dia, semua langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika diambil sebatas untuk mendukung upaya Kementerian Keuangan memungut pajak penyedia OTT. Pajak untuk OTT asing, kata dia, adalah bagian dari kesetaraan terhadap penyedia OTT domestik yang dikenai pajak. "Siapa pun yang berbisnis OTT di pasar Indonesia harus menjadi subyek pajak," ujar Rudiantara.
Sikap keras para pejabat tinggi Indonesia membuat Google mulai melunak. Belakangan, pada dua pekan terakhir Desember, perwakilan perusahaan ini duduk bersama dengan otoritas pajak untuk membahas penyelesaian sengketa ini. Mereka bertemu hingga lima kali di kantor pusat Ditjen Pajak dan Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus.
Haniv mengatakan, dalam pertemuan itu, pemerintah meminta data elektronik Google untuk penghitungan pajak. Pihak Google, kata dia, semula tampak enggan memberikan data yang diminta. Mereka menyebut data yang diminta terserak di beberapa sistem yang membutuhkan waktu untuk dihimpun.
Selama beberapa kali pertemuan itu, kata Haniv, pihak Direktorat menolak semua tawaran negosiasi dari Google. Dia menegaskan bahwa jumlah pajak yang dibayar Google haruslah berdasarkan hitungan data keuangan yang diakui bersama-sama.
Sampai saat ini pemerintah masih berkeras bahwa jumlah pajak yang harus dibayar Google pada 2015 adalah Rp 3 triliun. Jumlah ini sudah termasuk penalti. Meski demikian, Ditjen Pajak bersedia memberikan keringanan tarif menjadi Rp 1-2 triliun. Dalam satu pertemuan, jumlah ini ditawar Google. Salah satu pejabat Google Asia-Pacific mengatakan total tagihan pajak Google yang wajar seharusnya berkisar Rp 337,5-405 miliar.
Perbedaan hitung-hitungan inilah yang membuat semua pertemuan antara Ditjen Pajak dan Google selalu menemui jalan buntu. Sampai pada pekan terakhir Desember itu, ketika ada sinyal positif untuk sebuah kesepakatan di injury time. Namun, pada menit-menit berakhirnya 2016, Ditjen Pajak memutuskan menolak segala permintaan Google sebagai syarat tercapainya kesepakatan itu. "Pajak Google memang sempat membuat ketegangan di akhir tahun," ujar Haniv.
PENGAMAT pajak Yustinus Prastowo mengatakan mentoknya urusan pajak Google lantaran strategi pemerintah kurang jitu. Sulitnya memungut pajak Google sebenarnya menjadi persoalan banyak negara. Hanya Inggris yang berhasil memaksa Google merogoh kocek 130 juta pound sterling (sekitar Rp 2,14 triliun) untuk membayar pajak di sana.
Menurut Prastowo, pengenaan pajak untuk Google Asia-Pacific Pte Ltd sulit dipaksakan karena Google belum berstatus usaha tetap. Untuk bisa memungut dengan instrumen pajak yang berlaku, pemerintah harus membuktikan sebuah entitas sebagai BUT lebih dulu. Nah, menetapkan entitas Google sebagai BUT secara sepihak rawan digugat lewat pengadilan.
Potensi pajak yang bisa dipungut saat ini dari Google, menurut Prastowo, adalah jenis pajak pertambahan nilai (PPN). Memungut pajak penghasilan, kata dia, bakal membutuhkan waktu karena perusahaan itu harus membuat pembukuan. "Selain itu, menghitung pajak perusahaan online harus ada standardisasi," ujarnya. Masalahnya, saat ini standardisasi itu masih digodok Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang beranggotakan semua negara G-20. Apa pun tindakan pemerintah Indonesia pada Google harus selaras dengan standar internasional itu nantinya.
Kementerian Keuangan tahu betul aturan baru pajak untuk perusahaan seperti Google sangat mendesak. Ketika Menteri Keuangan dijabat Bambang Brodjonegoro, Lapangan Banteng pernah menggodok tarif pajak final untuk perusahaan OTT model Google dan Facebook. Model pajak ini penghitungannya mirip pajak final kepada usaha kecil-menengah yang pernah diwacanakan Kementerian Keuangan. Ketika itu direncanakan tarif pajak final untuk perusahaan OTT adalah empat persen, masing-masing untuk pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan. Tapi rencana itu kini tak terdengar lagi.
Sejauh ini Google memastikan akan mengikuti aturan main yang ditetapkan pemerintah. "Kami menghormati proses yang dilakukan pemerintah Indonesia," kata Managing Direktur Google Indonesia Tony Keusgen pada Desember lalu. Tarik-ulur untuk penyelesaian sengketa ini agaknya masih akan berlangsung lama. AKBAR TRI KURNIAWAN | ANDI IBNU | MAYA NAWANGWULAN | AGUS SUPRIYANTO | AYU PRIMA SANDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo