Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah tetap mewaspadai perlambatan ekonomi global kendati Amerika Serikat dan Cina bersepakat meredakan tingginya tensi perdagangan kedua negara. Menteri Sri Mulyani Indrawati mengingatkan "gencatan senjata" yang disepakati kedua negara tersebut bersifat sementara. "Dalam 90 hari itu kami harapkan ada kesepakatan fundamental dalam perdagangan," kata Sri, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghentian sementara perang dagang AS dan Cina disepakati Presiden Donald J. Trump dan Presiden Xi Jinping dalam pertemuan kedua kepala negara di sela-sela forum Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Buenos Aires, Argentina, Sabtu lalu. Kesepakatan penundaan rencana kedua negara untuk melanjutkan aksi saling balas menaikkan tarif impor barang-seperti terjadi dalam beberapa bulan terakhir-akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perekonomian dunia ikut terguncang sejak perang dagang dimulai medio tahun ini ketika Trump menaikkan tarif bea impor barang asal Cina. Sejak masa kampanye, Trump memang bertekad memperbaiki defisit perdagangan AS terhadap Cina. Proteksionisme dengan dalih menjaga industri dan inflasi AS ini dibalas oleh Cina dengan sejumlah langkah termasuk menyetop pembelian surat utang. Cina merupakan salah satu pemegang obligasi AS tertinggi tahun lalu senilai US$ 1 triliun.
Trump dan Xi Jinping sempat berbalas ancaman untuk melanjutkan ketegangan pada awal tahun depan. Namun, belakangan, kesepakatan temporer "perdamaian" diambil setelah perekonomian kedua negara, terutama AS, justru diproyeksikan bakal menjadi korban. Rapat bank sentral AS, The Federal Reserve, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negeri Abang Sam bakal terpukul setelah meraih hasil positif hingga triwulan III lalu. Sejumlah lembaga dunia pun memperkirakan ekonomi global bakal ikut melambat tahun depan.
Menteri Sri mengatakan Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum gencatan senjata. Namun risiko akibat ketidakpastian global yang masih mengintai mesti diantisipasi. Pertumbuhan ekonomi global 2019 diprediksi tak sekuat tahun ini. "Makanya kita perlu untuk menjamin domestic demand kita agar cukup kuat dan resilient," katanya.
19
Dia menjelaskan, yang perlu diperkuat ke depan adalah konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah agar mampu menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Menurut Sri, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 cukup baik dan sesuai dengan target. Namun, di sisi lain, harga komoditas global sedang turun. "Ini harus diwaspadai karena bisa memicu penurunan permintaan domestik," ujarnya. Sri juga menyoroti pentingnya mengantisipasi risiko pada nilai tukar rupiah.
Kabar rencana perdamaian antara AS dan Cina yang mencuat sejak bulan lalu dinilai menjadi salah satu faktor penguatan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini. Kemarin, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia mencatat rupiah kembali menguat 0,6 persen ke level 14.252 per dolar AS. Sepanjang Oktober hingga awal November, rupiah terus bertengger di kisaran 15.100-15.000-level terendah dua dekade terakhir.
Kemarin, Presiden Joko Widodo berharap penguatan rupiah berlangsung bertahap. "Kita ingin jangan terlalu cepet, dratis, karena kita butuh persaingan ekspor produk-produk Indonesia," kata dia. Jokowi meminta jajarannya tetap fokus meminimalkan potensi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD), termasuk dengan meningkatkan kinerja ekspor.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengisyaratkan bahwa CAD keseluruhan tahun ini bisa membaik dibanding posisi sembilan bulan pertama yang mencapai 2,86 persen dari produk domestik bruto (PDB). "Kami targetkan 2,5 persen dari PDB agar inflow, dan secara keseluruhan neraca pembayaran kita baik," ujarnya. Sejumlah langkah dilakukan bank sentral, salah satunya dengan tujuh kali menaikkan suku bunga acuan 7-Days Reverse Repo Rate, untuk menjaga CAD, inflasi, dan nilai tukar. GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo