SEJARAH Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), tampaknya, masih diikhtiarkan diperpanjang. Induk puluhan koperasi ini, setelah dibenahi manajemennya, beberapa waktu lalu, kini giliran jaringan pemasaran produksinya digarap bersama Primatexco dan Primissima -- dua usaha patungannya masing-masing dengan modal GKBI 48%. Badan Pemasaran Bersama (BPB), yang sudah bekerja mulai Agustus itu, sengaja dibentuk agar produk GKBI dan dua usaha patungannya tidak bertabrakan lagi di pasar. Bidang usaha ketiganya memang sama: menghasilkan cotton fabric atau katun. Hanya, pabrik GKBI di Medari, Yogya, menghasilkan katun mori biru untuk papan bawah sedangkan Primatexco di Pekalongan dengan katun prima dan Primissima di Yogya menghasilkan katun halus. Tapi diakui Ian Daskian, Direktur Primatexco merangkap Direktur Utama BPB, jauh sebelum badan itu dibentuk, "Di antara kami sering terjadi saling jegal." Pengalaman menunjukkan bahwa persaingan di antara GKBI dan perusahaan-perusahaan penyertaannya itu memang tidak menguntungkan. Apalagi setelah muncul usaha swasta, seperti Dan Liris di Solo, bisa menghasilkan kain sejenis dengan jadwal pengiriman bagus dan cara pembayaran menarik. Permintaan katun yang dihasilkan GKBI makin anjlok setelah para pembatik tradisional tersodok para produsen batik sablon. Yang jadi soal, induk koperasi itu sudah lama bergantung pada permintaan para pembatik. Sementara itu, "Kami sudah telanjur punya produksi bahan batik," kata Sularso, Dirjen Bina Usaha Koperasi, yang belakangan ditunjuk sebagai Ketua GKBI menggantikan H. Badruddin. Maka, usaha diversifikasi pasar dianggap perlu dilakukan. GKBI, Primatexco, dan Primissima, yang secara bersama menghasilkan katun 84 juta yard setahun atau sekitar 70% dari produksi nasional, tampaknya, punya potensi untuk bisa kembali mengendalikan permintaan pasar lokal. Tapi, menurut rencana, 30 juta yard dari produksi ketiganya tahun ini akan diekspor -- terutama ke Jepang. Dan 15 juta yard lagi juga akan dijual di pasar ekspor dalam bentuk pakaian jadi yang punya nilai tambah lebih bagus. Kalau usaha mencari pasar baru bersama itu berhasil, maka kebutuhan di dalam negeri nantinya akan lebih banyak diharapkan dipasok koperasi primer anggota GKBI, yang -- sayangnya -- pabrik-pabriknya kini menenun angin atau paling banter disewakan. Permintaan benang untuk menghasilkan katun ke pabrik pemintalan GKBI di Plumbon tentu diharapkan juga akan naik. Dan kalau uang masuk cukup besar, sehingga perputaran dana pabrik pemintalan itu kembali sehat, kewajiban mencicil utangnya ke BNI 1946 yang, konon, berjumlah Rp 12 milyar mungkin bisa dipenuhi kembali. Gara-gara pemasaran kain mori GKBI jeblok di pasar lokal, pabrik pemintalan Plumbon sampai minta penundaan mengangsur utang pokok dan bunga ke bank pemerintah. Usaha menaikkan pemasaran dan produksi GKBI dengan anak-anaknya itu, demikian Ketua GKBI Sularso, diharapkan "Akan menjadi pendukung bagi GKBI untuk memenuhi semua kewajibannya". Masih harus dilihat, tentu, apakah BPB ini akan berhasil baik menjalankan peranannya -- hingga mungkin blsa Ikut mempengaruh harga mori di pasar lokal. E.H., Laporan Suhardjo Hs. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini