MODAL asing, PMA, makin diimbau habis-habisan. Kini mereka diizinkan memanfaatkan laba untuk memperluas usaha. Maka, mereka mengincar usaha perkebunan. Lihat saja PT Unilever Indonesia, Belanda, yang tahun silam mencatat laba Rp 19,2 milyar, kini mencari kebun kelapa sawit, karet, atau teh yang hendak dijual. Keinginan Unilever untuk terjun ke agribisnis, sebenarnya, sudah diungkapkan tahun silam. Agaknya, perusahaan yang bergerak di bidang industri keperluan rumah tangga -- dari sabun sampai margarine telah mengincar kebun kelapa sawit PTP IV di Torgamba, yang batal dijual. "Kemudian kami ingin membeli kebun karet di Sumatera, tapi tidak diperkenankan," tutur Mohammad Hatta, anggota direksi Unilever. Tapi keinginan itu kini jadi semakin menggebu. "Kalau ada kebun teh yang mau dijual, mungkin kami mau beli," tambah Hatta. Soalnya, sejak Juni lalu, BKPM memperbolehkan PMA memperluas usaha biarpun tak berkaitan dengan usaha yang bersangkutan. Bahkan, bidang yang sudah tertutup untuk PMA pun boleh dimasuki, asalkan membeli saham PMDN yang sudah terancam bangkrut. "Hal ini tercantum dalam SK Ketua BKPM, 4 Juni No. 12/1986," kata Kepala Biro Promosi BKPM, Samuel Tiwow. Menurut Tiwow, modal untuk membeli saham PMDN itu boleh dari laba usaha, besarnya maksimal 80%. "Dulu memang BKPM hanya mengizinkan PMA membawa modal segar, dan semua laba harus direpatriasi. Sekarang laba boleh diputarkan kembali untuk membantu kelangsungan hidup PMDN," tambah pejabat BKPM itu. Maksud utama kebijaksanaan ini adalah untuk menghindarkan kebangkrutan perusahaan lokal, terutama yang kecil-kecil, seperti industri pipa tembaga, aluminium, genset, dan lampu hias, yang selama ini tidak mendapatkan fasilitas BKPM. Perusahaan-perusahaan berstatus BRO (Bedrijfs Reglementering Ordonnantie) ini lahir sebelum adanya BKPM, yang, menurut Tiwow, dewasa ini tinggal beberapa yang masih bisa untung. Kebijaksanaan ini dilihat Direktur Jetro (Japan External Trade Organization) Jakarta, Hiroshi Oshima, sebagai peluang untuk menarik investor menengah-kecil dari Jepang. Dewasa ini, akibat kenaikan kurs yen banyak perusahaan menengah-kecil di Jepang bangkrut. "Biaya produksi mereka tinggi," tutur Oshima-san. Banyak yang ingin memindahkan pabriknya ke Asia Tenggara. Indonesia, katanya, masih mempunyai daya tarik -- antara lain -- di bidang usaha pembuatan mainan, peralatan kantor mesin ringan, sepatu olah raga, dan perlengkapan olah raga lainnya. Apalagi, menurut Direktur Jetro Jakarta itu, sudah ada contoh perusahaan menengah dari Jepang yang terhitung sukses di Indonesia. Antara lain PT Meiwa Indonesia, pembuat taplak meja dari serat sintetis, yang berdiri sejak 1972 dan telah menyerap modal Jepang sebesar USS 1,5 juta. Sekarang ini Meiwa masih bertahan dengan sekitar 700 karyawan, termasuk 14 tenaga asing, di Cimanggis di selatan Jakarta. Kalangan pengusaha -- seperti Soebronto Laras dari Gabungan Agen Tunggal dan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia dan Bob Hasan menyambut baik kebijaksanaan ini. Maklum, dewasa ini, banyak perusahaan merugi sehingga mem-PHK-kan karyawan, bangkrut, atau diambil oper bank-bank pemberi kredit. "Pengambilalihan manajemen oleh bank ternyata tak menolong karena tidak profesional," tutur Soebronto. Tentu tidak semua PMDN yang terancam bangkrut mau dibeli begitu saja oleh PMA. Mengambil alih perusahaan yang mau bangkrut banyak buntut persoalannya, tentu. Oshima, misalnya, melihat investor Jepang sudah mengalami kepahitan di sektor usaha terpadu, seperti tekstil, perkayuan, atau suku cadang industri mobil. Toh, dewasa ini minimal ada tiga PMA yang mengajukan minat membeli PMDN yang bergerak di industri terpadu yang dikatakan telah jenuh itu. "Masih diproses. Jadi, jangan tanya dulu nama perusahaan lokal yang hendak dibeli PMA itu," ujar Tiwow, sambil tertawa. M.W., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini