MINYAK dan gas, bagaimanapun kondisi pasarnya, tetap merupakan komoditi yang paling diperhitungkan. Mungkin karena itu pula, Indonesia sebagai produsen dan Jepang sebagai konsumen menghabiskan waktu dua tahun lebih, untuk menggodok sebuah keputusan, khusus mengenai LNG alias gas alam cair. Dokumen yang diteken Dirut Pertamina bersama pembeli LNG dari Jepang Timur (Chubu Electric Kyushu Electric, Nippon Steel, Osaka Gas, dan Toho Gas) Senin pekan lalu itu menyatakan, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan kontrak penjualan LNG yang mereka buat pada 1977. Hanya tak jelas, berapa diskon yang diberikan Pertamina kepada para pembeli dari Negeri Yen itu. Soalnya, harga LNG yang dihitung berdasarkan harga minyak mentah selalu dirahasiakan. Yang pasti dari potongan harga ini -- oleh Dirut Pertamina Abda'oe disebut sebagai "penyesuaian" -- Pertamina masih menghimpun keuntungan yang lumayan. Lagi pula, setelah memberikan diskon, plus kelonggaran untuk mengikutsertakan fasilitas milik pembeli -- sebelumnya LNG hanya diangkut oleh kapal-kapal tanker Indonesia -- Pertamina mengantungi pesanan LNG tambahan sebanyak 380 kargo. Atau sekitar 21,6 juta metrik ton seharga 3,42 milyar dolar, untuk masa pengiriman hingga kontrak berakhir, 1997. Itu, kata Kahumas dan Hubungan Luar Negeri Pertamina, M.A. Rais, merupakan pesanan yang pasti akan diajukan oleh pembeli dari seluruh Jepang. Artinya, perundingan dengan pembeli dari Jepang Barat, yang akan usai dalam waktu dekat ini, diduga tidak akan mengubah keputusan yang telah diambil Pertamina bersama Jepang Timur. Sementara itu, penyalur gas terbesar di Tokyo, yakni Tokyo Gas, kini sedang menjajaki kemungkinan membeli gas dari Indonesia. Mengaku belum pernah bernegosiasi ke Jakarta, Presiden Tokyo Gas, Kunio Anzai, menyatakan bahwa kebutuhan gas di Jepang naik 5-6 persen setahun. Ini dikemukakannya dalam pembicaraan dengan Presiden Soeharto Kamis pekan lalu, ketika ia mengadakan kunjungan kehormatan ke Bina Graha, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Kunio Anzai didampingi oleh Dirut Pertamina Faisal Abda'oe. Bicara tentang prospek yang bagus ini, Abda'oe menyebutkan rencana pembangunan kilang LNG yang baru di Bontang -- diperkirakan bisa selesai dalam 2-3 tahun. "Yang penting sekarang, bicara pasarnya dulu," ujar Abda'oe. "Bila dengan Tokyo Gas sudah ada kesepakatan, maka dibicarakan pula teknologinya, sesudah itu dana investasinya," kata Dirut Pertamina itu. Di sisi lain, Pertamina juga tengah berunding dengan Korea Selatan (Kor-Sel), ini pun tentang tambahan pembelian LNG sebanyak 500 ribu metrik ton per tahun. Mungkin, dari kenyataan ini, orang akan bertanya-tanya, apa yang mendorong Pertamina dan para pembelinya membuat perjanjian baru. Banyak faktornya, ternyata. Pihak pembeli tentu mengharapkan harga yang lebih murah, di samping menginginkan kapal tankernya ikut beroperasi. Sedang Pertamina, sebagai penjual, harus waspada. "Saingan LNG kita kan banyak. Ada Qatar, Malaysia, Brunei, dan Australia," kata Rais. Nah, dengan cara negosiasi ulang seperti itulah, Pertamina akan memperoleh jaminan bahwa volume transaksi tidak berkurang menjelang kontrak selesai. Tahun lalu saja, dengan mengekspor 18,5 juta ton, Indonesia meraup devisa US$ 3 milyar. Jumlah ini akan membesar kelak bila tiga unit produksi LNG (train) di Madura dan Natuna selesai dibangun. Soal cadangan LNG kita, jangan diragukan. Total, diperkirakan, cadangan gas Indonesia mencapai 109 TCF (trilyun kaki kubik) yang bisa diproduksi selama 70 tahun.. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini