Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta-Komitmen pemerintah untuk melakukan penguatan sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan (Indonesia Sustainability Palm Oil, ISPO) dipertanyakan. Forum Koordinasi Masyarakat Sipil untuk Penguatan ISPO dan Kelompok Perwakilan Masyarakat Sipil untuk Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan menilai pemerintah mengabaikan proses yang melibatkan multipihak dalam penyusunan rancangan Peraturan Presiden tentang Sistem Sertifikasi ISPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu perwakilan forum ini, Mardi Minangsari mengatakan bahwa mereka awalnya dilibatkan oleh pemerintah dalam melakukan pembahasan Perpres penguatan ISPO ini. Proses pembahasan pun telah berjalan sejak Juni 2016. Namun per September 2017, Minangsari mengaku forum ini tak lagi mendapatkan informasi dari pemerintah ihwal kelanjutan pembahasan rancangan Perpres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Awal Desember kami mempertanyakan keputusan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dengan mengirim surat dan merilis siaran pers," kata Minangsari di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu, 28 Januari 2018.
Minangsari menuturkan, pada mulanya terjadi dialog antara pemerintah dan stakeholder terkait, termasuk masyarakat sipil. Dialog itu berlangsung melalui serangkaian pertemuan dan konsultasi publik di berbagai daerah, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Minangsari mengatakan rangkaian proses tersebut pun telah menghasilkan rekomendasi prinsip, kriteria, dan sistem sertifikasi ISPO yang akan tercakup dalam rancangan Perpres. Dia berujar, sedianya proses tersebut dilanjutkan dengan konsultasi publik nasional.
"Ternyata Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian malah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan terbatas sehingga proses yang ada justru menjadi tertutup dan kami sulit mendapatkan akses informasi mengenai kemajuan proses," ujar Minangsari.
Minangsari mengatakan, penguatan ISPO penting dilakukan lantaran masih banyak permasalahan di sektor industri kelapa sawit. Dia menyebut, masalah yang banyak ditemukan di antaranya yakni soal perambahan hutan, pengabaian terhadap prinsip hak asasi manusia, konflik agraria, perusakan lingkungan, penanganan limbah, dan sebagainya.
Dia pun beranggapan, proses tersebut justru berjalan mundur dengan dikeluarkannya saran konsultasi publik ihwal prinsip HAM dan transparansi. "Kejadian-kejadian ini menunjukkan pemerintah Indonesia tidak siap dengan proses multi stakeholder yang genuine karena tetap mengabaikan masukan," ujarnya.
Peneliti Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan penguatan ISPO diharapkan dapat membuat produk kelapa sawit Indonesia diterima di pasar global. Apalagi, ujar dia, kelapa sawit merupakan komoditas yang masih menjadi sandaran perekonomian nasional.
"Pasar global ini menuntut syarat-syarat tertentu. ISPO secara global tidak diakui dibanding RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil)," kata Palupi.
Parlemen Uni Eropa dalam voting tanggal 18 Januari lalu akhirnya menyetujui proposal UU energi terbarukan yang di dalamnya memuat larangan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel mulai tahun 2021. Adapun larangan ini dilatarbelakangi isu keberlanjutan (sustainability) dan deforestasi di perkebunan sawit di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menganggap kebijakan tersebut bakal memukul industri sawit dalam negeri. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 40 Tahun Kerja Sama Kemitraan ASEAN-Uni Eropa November tahun lalu menyebut resolusi Parlemen Uni Eropa itu sebagai kampanye hitam terhadap kelapa sawit Indonesia.
Jokowi meminta Uni Eropa menghentikan 'kampanye hitam' tersebut. Dia mengklaim, industri kelapa sawit di Indonesia sangat dekat dengan upaya memberantas kemiskinan, mempersempit kesenjangan pembangunan, dan membangun ekonomi inklusif.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANTARA | AMIRULLAH