KAIN selubung logo Visit ASEAN Year 1992 telah disibak. Sorot cahaya pagi di Silang Monas Jakarta, 1 Januari silam, menerangi gambar matahari dan enam burung merpati yang disangga seuntai bernas padi. Logo yang berbentuk setengah lingkaran itu melambangkan kesejahteraan yang bakal direguk enam negara ASEAN, lewat pariwisata. Menparpostel Soesilo Soedarman, orang yang membuka selubung itu, bertepuk tangan, diiringi lima duta besar negara-negara ASEAN, Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dan Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Burung-burung merpati dilepas ke udara, pertanda lima negara anggota ASEAN siap menyambut wisatawan mancanegara. Kira-kira 25 juta turis luar negeri diperkirakan akan menyerbu kawasan ini. Dan Direktur Bina Pemasaran Pariwisata Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Udin Saifuddin, berharap bisa mengundang 2,9 juta wisatawan asing. Target tersebut dianggap tidak mulukmuluk bila mengingat Visit Indonesia Year 1991, yang oleh Pemerintah dinilai sukses. Pada 1991 itu, Indonesia cuma mematok target 2,4 juta turis. Tapi, perhitungan Direktur Jenderal Pariwisata Joop Ave, lebih dari 2,5 juta turis memasuki Indonesia hingga akhir 1991, atau sekitar 17% di atas tahun 1990. Devisa yang dikantungi pun ditaksir sekitar US$ 2,4 milyar (periode 1990 kira-kira US$ 2,1 milyar). Ini berkat berbagai fasilitas, yang sejak jauh-jauh hari terus ditingkatkan. Hotel berbintang, misalnya, yang pada 1990 baru berkapasitas 23.000 kamar, sudah bertambah menjadi 26.000. Bahkan, Oktober 1991 Menteri Kehakiman memberikan fasilitas bebas visa wisata kepada warga negara Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Republik Emirat Arab, dan Turki. Dengan demikian, jumlah negara yang diberi bebas visa wisata menjadi 43 negara. Dan ternyata, dalam catatan Deparpostel, hampir 90% turis asing yang datang ke Indonesia menggunakan fasilitas bebas visa tersebut. Mungkin jumlah mereka bisa lebih banyak. "Kalau saja tidak diganjal Perang Teluk dan kelesuan ekonomi di Amerika dan Eropa, mungkin lebih tinggi lagi," kata Joop Ave. Ia bahkan mengungkapkan adanya kebocoroan dalam penghitungan data. Kebocoran yang disebut-sebut Joop itu terjadi antara lain lantaran Indonesia terlalu cepat menambah pintu masuk, sehingga banyak yang luput dari catatan Departemen Parpostel. Di Batam saja, misalnya, selain lewat sebuah bandara, ada dua pelabuhan laut yang dibuka bagi para wisatawan. "Biarpun kecil, dalam beberapa bulan, ketiga pintu itu dimasuki 13.000 wisatawan. Begitu pula yang masuk lewat Riau," katanya. Kebocoran diduga banyak terjadi karena banyak turis yang menumpang kapal perang. Mereka umumnya para awak kapal, yang setiba di Indonesia memanfaatkan kesempatan untuk berwisata, namun masuk lewat pintu-pintu tak resmi, di luar Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, Polonia, dan Batam. Joop memberi contoh fasilitas Angkatan Laut di Ujungpandang, yang memiliki fasilitas turisme lengkap. Ada money changer, biro perjalanan, dan sebagainya. Mereka, awak kapal itu, kemudian pergi ke Yogya sebagai wisatawan. Nah, untuk mengetahui berapa sebenarnya wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia, Departemen Parpostel tengah membenahi datanya. Meskipun demikian, Pemerintah menilai Tahun Kunjungan Indonesia 1991 itu menggembirakan. Hampir semua daerah tujuan wisata mengalami peningkatan jumlah pengunjung. Terhitung sampai November 1991, yang memasuki Sumatera Utara tercatat hampir 150.000 orang asing atau hampir 17.000 lebih banyak ketimbang periode 1990. "Ini belum termasuk data bulan Desember yang belum sempat dihitung," kata Kasubdis Pemasaran Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara, Abdullah Wali. Dia yakin, target 163.000 bisa tercapai. Asal negara wisatawan asing yang mengunjungi Sumatera Utara boleh dikatakan bervariasi. Mereka umumnya membanjiri Danau Toba dan Tanah Karo. Sekitar 35% dari Eropa dan 6% Amerika Serikat. Hampir separuhnya memang berasal dari negara-negara ASEAN, dan sisanya dari berbagai negara. Jawa Tengah kebagian 90.000 wisatawan asing, atau 15.000 lebih banyak dibanding periode 1990. Mereka mengunjungi lebih dari 160 obyek wisata, termasuk Demak, Kudus, dan Keraton Surakarta. Nusa Tenggara Barat, yang dijuluki Menteri Dalam Negeri Rudini "Bumi Kahyangan", dikunjungi sekitar 112.000 wisatawan asing (pada 1990 kira-kira 107.000). Padahal, target yang dipatok cuma 92.000. Yang justru masih menjadi tanda tanya adalah Bali dan Yogyakarta. Terhitung sampai November 1991, jumlah wisatawan asing yang datang baru sekitar 447.000 orang. Padahal, selama periode 1990 hampir 500.000. "Ternyata, Perang Teluk memang menjadi 'bencana' bagi dunia pariwisata Bali," kata Kepala Dinas Pariwisata Daerah Bali, Anak Agung Gde Putera. Tapi ia berani menjamin, kalau data bulan Desember sudah dihitung, wisatawan yang memasuki Bali selama Visit Indonesia Year 1991 pasti 12,5% lebih besar ketimbang 1990. Sementara itu, yang mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di bawah target. "Jumlahnya memang belum dihitung, tetapi kurang dari target 188.000," kata Kakanwil Deparpostel DIY, Drs. Maryatmo. Ia menunjuk Perang Teluk sebagai penyebabnya. Memang, dari luar jajaran Pemerintah, ada suara-suara yang tidak puas. Sebagai negara besar, arus wisatawan mancanegara yang memasuki Indonesia lebih rendah ketimbang Malaysia, Singapura, dan Muangthai, yang obyek wisatanya lebih sedikit. Banyak yang menilai "kekalahan" Indonesia disebabkan promosi di luar negeri yang kepalang tanggung. Kondisi kepariwisataan 1991 ternyata tak cukup menggembirakan para pengusaha hotel. Sebelum 1991 banyak pengusaha hotel yang menambah jumlah kamar, untuk menampung wisatawan yang diperkirakan bakal meledak. Rajawali Group, misalnya, pada 1990 telanjur meresmikan Sheraton Inn di Lampung dan Bandung dengan total kamar 225 buah. Namun, kenyataan berbicara lain. "Pada 1991, turis asingnya 20% di Bandung dan 10% di Lampung dari seluruh jumlah penginap," keluh Manajer Pemasaran Sheraton, Lisa Cross. Menurut Rae Sita Supit, Direktur Sahid Tours and Travel, Perang Teluk mengakibatkan banyaknya pembatalan pesanan hotel, terutama di daerah-daerah wisata seperti Bali. Selain itu, promosi, pelayanan, dan kiat menyenangkan wisatawan belum tergarap secara optimal. Soal lain yang membutuhkan penanganan adalah transportasi, misalnya kondisi jalan menuju lokasi obyek wisata. Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Utara, Abdullah Wali, menceritakan betapa jeleknya jalan ke Brastagi di Tanah Karo. Lantas soal pemandu, yang tidak kreatif dan kurang menguasai pengetahuan umum dan bahasa asing. Mungkin karena itu, dalam pidato pencanangan Visit ASEAN Year 1992 di TVRI 1 Januari lalu, Presiden Soeharto menekankan. "Kita harus memperbaiki kekurangan yang masih ada, dan membuat lebih baik lagi halhal yang telah kita anggap baik." Dengan persiapan yang dimulai sejak 1988, jajaran Deparpostel optimis target 25 juta arus wisatawan asing ke ASEAN bisa dicapai. Pusat Informasi Pariwisata ASEAN telah dibentuk untuk mengkoordinasikan aktivitas pemasaran dan bertindak sebagai bank data. Selama Visit ASEAN Year, semua maskapai penerbangan ASEAN juga sepakat membuat paket wisata dengan biaya lebih murah 40 sampai 50 persen. Optimisme itu, menurut Joop Ave, bisa dilihat dari semakin mudahnya bank-bank memberikan kredit di bidang kepariwisataan, hal yang dulu musykil. "Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa pariwisata adalah kegiatan ekonomi. Pariwisata adalah sector of hope, sector of the future," ujar Joop. Priyono B. Sumbogo, Sandra Hamid, dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini