Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Eugenia Mardanugraha, menyatakan bahwa harga murah yang ditawarkan oleh penyedia jasa internet satelit, Starlink, belum tentu merupakan praktik predatory pricing.
Eugenia menjelaskan bahwa "predatory pricing" bukan hanya soal harga murah. Menurutnya, tuduhan "predatory pricing" yang dilontarkan hanya karena harga murah adalah tidak tepat. Ia menekankan bahwa harga yang lebih murah dari pesaing belum tentu berarti praktik "predatory pricing".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena yang namanya 'predatory pricing' tadi kan sudah dijelaskan (bahwa itu) tidak sekadar harga murah ya. Jadi kalau saya baca di media-media itu harga murah langsung menuduhnya, bilangnya 'predatory pricing' nah itu tidak benar," kata Eugenia di Jakarta, Rabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hilman Pujana, anggota KPPU lainnya, menambahkan bahwa praktik "predatory pricing" tidak hanya soal harga jual yang lebih rendah, tetapi ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk bisa disebut demikian.
Akademisi dari Universitas Indonesia, Ine Minara Ruky, menjelaskan bahwa "predatory pricing" adalah strategi untuk menyingkirkan pesaing dengan menetapkan harga di bawah biaya, dengan tujuan mendapatkan posisi monopoli. Setelah itu, pelaku akan menaikkan harga ke tingkat monopoli untuk memulihkan kerugian. Namun, menurut Ine, praktik ini sulit dilakukan secara teori, terutama di industri digital yang bersifat destruktif dan berbasis inovasi. Ia menambahkan bahwa persaingan melalui inovasi adalah hal yang sah dalam bisnis.
"Tapi setelah itu dia harus punya kemampuan untuk memulihkan kerugian yang dia derita selama masa predatory dengan menetapkan harga yang sangat tinggi, harga monopoli kepada konsumennya. Nah untuk berhasil seperti itu, secara teori akan sangat sulit.
Ine juga menekankan bahwa promosi harga oleh Starlink, yang memberikan potongan harga sebesar 40 persen hingga 10 Juni 2024 mendatang, bukanlah "predatory pricing" melainkan "promotional pricing". Ia menjelaskan bahwa "predatory pricing" melibatkan penetapan harga di bawah biaya untuk jangka waktu tidak terbatas sampai pesaing tersingkir, yang menurutnya tidak mungkin dilakukan oleh Starlink.
"Terkait Starlink, dia kan menetapkan harga diskon ada batas waktu, sampai kalau tidak salah 10 Juni. Itu bukan predator ... Kalau predatory pricing itu menerapkan harga yang di bawah biaya dan dalam jangka waktu tidak terbatas sampai dengan pesaingnya semua tersingkir dari pasar, sehingga dia memperoleh posisi monopoli, itu dia predatory pricing. Ini tidak mungkin menurut saya," kata Ine.
Apa itu Predatory Pricing?
Dilansir dari IBLAM.ac.id, dalam dunia bisnis yang kompetitif, strategi untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan kerap dilakukan. Salah satu strategi yang kontroversial dan ilegal adalah predatory pricing atau jual rugi ekstrem.
Predatory pricing adalah praktik menjual produk atau jasa dengan harga jauh di bawah harga modal, bahkan di bawah harga pokok produksi, dengan tujuan utama untuk menyingkirkan pesaing di pasar. Strategi ini biasanya diterapkan oleh perusahaan besar yang memiliki modal kuat dan ingin mendominasi pasar.
Di Indonesia, predatory pricing dilarang oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Sehat. Praktik ini dapat dikenakan sanksi berupa denda hingga pembubaran usaha.
Penting bagi konsumen untuk memahami bahaya predatory pricing dan menghindari pembelian produk dengan harga yang jauh di bawah harga wajar. Konsumen juga dapat melaporkan praktik ini kepada instansi terkait, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dan melindungi hak-hak konsumen.