JIKA ada menteri yang disambut dengan setumpuk masalah besar pada hari-hari pertama masa jabatannya, dia adalah Mar'ie Muhammad. Selepas dilantik sebagai Menteri Keuangan, ia langsung dihadang oleh laju inflasi dan suku bunga yang tinggi. Situasi kian buruk karena nilai investasi asing merosot, sementara dunia usaha masih tetap lesu. Setelah laju inflasi secara bertahap oleh Mar'ie dikendalikan dengan kebijaksanaan fiskal moneter, kelesuan dunia usaha dan merosotnya nilai investasi asing haruslah diatasi melalui kerja sama dengan beberapa menteri di lingkungan industri dan perdagangan. Kabarnya, kini sedang dipersiapkan deregulasi sektor riil bidang perizinan, yang akan diluncurkan akhir Agustus ini. Mudah-mudahan, kebijaksanaan baru itu cukup ampuh untuk mematahkan mata rantai birokrasi yang menghambat masuknya modal asing ke negeri ini. Seperti diakui Mar'ie, terkadang urusan investasi itu lancar dari pusat sampai ke kabupaten, tapi terjegal di kelurahan. Selain itu, kasus Bank Summa, misalnya, menurut Mar'ie telah meninggalkan gaung panjang di forum internasional. Akibatnya, country risk kita naik dan semakin banyak investor asing yang berbelok ke RRC ataupun Vietnam. Satu perangkat hukum lain yang sedang disiapkan oleh jajaran Departemen Keuangan adalah UU Pasar Modal dan Pasar Uang. Mungkin sekali, sebelum tahun 1993 ini berakhir, landasan hukum yang sangat diperlukan untuk memobilisasi dana masyarakat itu sudah tuntas disusun. Dengan aturan main yang lebih lengkap, semestinya bisa dilenyapkan celah-celah hukum yang selama ini dimanfaatkan untuk membobol bursa saham. Kasus paling menonjol adalah penjualan saham palsu, April silam, yang bernilai Rp 10 miliar dan merugikan pialang lebih dari Rp 3 miliar. Harus diakui, tanpa berbagai kasus dan kejutan pun, Departemen Keuangan tiap kali akan menjadi sumber produk hukum, hingga terkesan lebih sibuk dari departemen mana pun juga. Hal ini memang tak terelakkan karena menjelang pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJPT II), pembangunan sektor keuangan lebih diutamakan. Mengapa? Tak lain agar Pemerintah bisa lebih efektif menggali sumber-sumber dana dalam negeri. Lihat saja, setelah terbentur-bentur sejak dua tahun lalu, pasar uang, misalnya, pelan-pelan mulai digelindingkan. Gedung Exchange House, Kuningan, Jakarta, adalah arena untuk mobilisasi dana melalui apa yang disebut commercial paper (CP). Populer dengan singkatan CP, pendatang baru pasar uang ini akan mendampingi empat instrumen lainnya, yakni sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga pasar uang (SBPU), deposito, dan obligasi. CP, yang ditujukan untuk pendanaan jangka pendek (2360 hari) diharapkan bisa menjadi alternatif bagi kredit perbankan yang bunganya masih saja tinggi. Serentak dengan peluncuran CP, September depan Pemerintah akan menegakkan sebuah lembaga credit rating yang tugasnya menilai kondisi perusahaan yang mengeluarkan surat-surat berharga, termasuk CP. Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, beranggapan bahwa kehadiran lembaga independen semacam itu kini memang sangat diperlukan. Diharapkan kelak, kegiatan pasar modal dan pasar uang bisa menutupi kelemahan sektor perbankan, yang belum mampu menurunkan suku bunga ke tingkat yang bisa ditolerir oleh dunia usaha. ''Menurut saya, tingkat suku bunga tak boleh melebihi 18%,'' ujar Marjanto Danusaputro. Angka itu pun, kata bekas Direktur BI ini, sudah paling tinggi di kawasan ASEAN. Andai kata kemudian suku bunga bisa ditekan, itu berarti sektor perbankan kembali melayani sektor riil. Lalu dunia usaha pun bergairah kembali. ''Kita longgarkan loan to deposit ratio agar ekspansi kredit lebih berani,'' tutur Mar'ie, tanpa lupa menegaskan bahwa ia tetap hati-hati. Sikap ini dirumuskan Mar'ie dengan kalimat ''Ekspansi tapi tetap terkendali''. Kendala suku bunga memang merisaukan banyak orang, apalagi bank-bank semakin terbiasa menanamkan uangnya di SBI Maret lalu mencapai Rp 16,3 triliun. Kini, setelah suku bunga SBI ditekan sampai 10,5%, SBI mulai kurang menarik untuk investasi. Sekalipun begitu, bermain di SBI, yang tanpa risiko, masih disukai oleh sektor perbankan, apalagi bank yang pernah mengalami kredit macet. Kendati overlikuid, dewasa ini sektor perbankan baru melonggarkan keran kreditnya untuk pembelian rumah, belum untuk kredit modal kerja dan kredit investasi. Sementara itu, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad masih harus membagi perhatiannya untuk harga minyak yang cenderung turun, gara-gara banjir minyak oleh Kuwait dan Irak. Pada saat yang sama, ia pun perlu memikirkan alokasi dana untuk pembayaran cicilan dan bunga utang yang mencatat angka tertinggi pada tahun depan. Terobosan memang perlu, tapi apakah Mar'ie mampu? Inilah pertanyaan yang sukar dijawab, apalagi sukses Mar'ie sebagai Menteri Keuangan banyak ditentukan oleh berbagai sektor di luar jangkauannya. Dan jangan lupa, institusi keuangan yang kelak akan semakin berperan, mutunya menurut Mar'ie masih di bawah standar institusi keuangan di Singapura. Wahyu Muryadi dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini