SUATU siang, empat tahun silam, sewaktu menjabat Dirjen Pajak, Mar'ie Muhammad membawa petugasnya, lengkap dengan gulungan pita ukur, ke sebuah rumah besar di Jalan Cendana, Jakarta. Rumah besar itu pun diukur luasnya untuk keperluan data pajak bumi dan bangunan (PBB) yang harus dibayar pemiliknya, yang tidak lain adalah Soeharto, Presiden RI. ''Soal keharusan bayar pajak tidak ada pengecualian. Paling tidak, selama saya menjadi dirjennya,'' kata Mar'ie waktu itu. Maklum, sebelumnya, dia sempat jengkel. Pada awal-awal kampanyenya tentang bayar pajak, kabarnya, banyak orang gedean yang mencoba-coba menghindar. Mar'ie pun minta izin kepada Pak Harto untuk mengukur rumah di Jalan Cendana itu. Suatu kiat yang agaknya dia lakukan untuk melicinkan tugasnya meraup pajak. Dia sukses. Selama lima tahun sejak menjadi Dirjen Pajak pada tahun 1988, Mar'ie berhasil mengumpulkan pajak di luar minyak dan gas bumi sebanyak Rp 19 triliun. Padahal, targetnya hanya Rp 9 triliun. Dialah yang pandai merayu para wajib pajak dengan melayangkan segepok love letters demikian istilahnya. Alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UI yang memulai kariernya dari bawah di Departemen Keuangan itu sepintas lalu memang tampak kaku, dan agak seenaknya kalau berbicara. Sekalipun begitu, dia tidak kehilangan humor. Itu, antara lain, terdengar saat diumumkannya Paket Deregulasi bulan Juni lalu di aula Departemen Keuangan. Surat keputusan yang harus dibacakannya ternyata belum bernomor. Dan Mar'ie, yang dikenal teliti, kontan berteriak kepada stafnya yang berdiri di belakangnya, ''Hei, ini berapa nomornya?'' Tawa pun meledak dalam pertemuan penting yang dihadiri enam menteri dan puluhan wartawan itu. Ketika namanya diumumkan sebagai Menteri Keuangan, sementara orang bertanya-tanya apakah dia bisa memikul tugas yang tadinya berada di pundak Sumarlin itu. Barangkali, itu karena dia tidak menyandang gelar doktor ekonomi, dan tidak termasuk anggota ''inti'' dari kelompok ekonom Pemerintah yang dijuluki ''mafia Berkeley''. Mungkin merasa ada yang meragukan wawasannya tentang ekonomi makro, Mar'ie pun pernah berseloroh dalam sebuah seminar ekonomi di Jakarta, baru-baru ini, ''Saya ini kan ayam kampung, bukan ayam broiler ....'' Tapi si ''ayam kampung'' ini ternyata pandai juga berkokok tentang masalah ekonomi dan moneter dalam dan luar negeri, tentang mengapa dia harus menekan tingkat inflasi hingga serendah mungkin, sampai soal beleid deregulasi dan upaya untuk lebih memikat PMA masuk ke sini (lihat Kredit Macet Bukan Main- Main). Semasih jadi mahasiswa dan pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat, Mar'ie dikenal sebagai orang yang tangkas bicara, gigih mempertahankan pendapatnya, tidak sabaran, tapi sering didengar oleh rekan-rekannya. Sejak zaman Orde Lama, ketika menjabat Sekretaris Jenderal HMI Pusat, arek Suroboyo ini mulai dikenal sebagai ahli siasat yang tahu medan. Belakangan, Mar'ie, yang pernah menjadi anggota DPR, baru memutuskan untuk berpindah karier menjadi birokrat di Departemen Keuangan. Ketika itu, beberapa rekannya sempat terkejut karena berharap Mar'ie akan meneruskan kariernya sebagai politikus. Banyak yang merasa kehilangan dia, dan menyayangkannya. Bahkan, ada pula yang setengah mengejeknya, ''Eh, ternyata dia itu seorang birokrat tulen ....'' Sejak masuk Departemen Keuangan, tahun 1971, peran Mar'ie sebagai politikus mulai menghilang, dan dia dikenal sebagai pegawai negeri yang tekun. Adalah Sumarlin, ketika menjabat Menteri PAN dan Wakil Ketua Bappenas, yang rupanya mengenal siapa Mar'ie sebenarnya. ''Salah satu hal yang saya puji dari Mar'ie, dia sangat loyal kepada institusi,'' kata Sumarlin kepada TEMPO pekan lalu. Sumarlin lalu menunjuk contoh kasus perkebunan Torgamba di Sumatera Utara, yang terkenal paling bagus. PTP VII itu hampir saja dijual karena ada laporan dari menterinya ketika itu bahwa perkebunan tersebut menderita kesulitan likuiditas. Maka, Sumarlin, yang menjabat Menteri Keuangan ad interim mewakili Radius Prawiro yang sedang di luar negeri memanggil Mar'ie Muhammad, yang ketika itu sudah menjabat Direktur Persero, dan Dirjen Moneter Oskar Suryaatmadja (kini almarhum). ''Mereka berdua ternyata melaporkan apa adanya dan menyayangkan kalau Torgamba yang masih sehat itu jadi dijual kepada swasta,'' kata Sumarlin. Akhirnya, dengan persetujuan Presiden Soeharto, perkebunan itu tidak jadi dijual. Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa Menteri Keuangan Ali Wardhana ketika itu tergolong pemimpin yang bermata jeli. Dialah yang menerima Mar'ie menjadi anak buahnya, dan dia pula yang akhirnya bisa meyakinkan Pak Harto untuk menunjuk pejabat yang terkenal ''bersih'' itu menjadi Direktur Persero, 17 tahun silam. Fikri Jufri, Ivan Haris, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini